Direktur Industi Kimia Hulu, Kementerian Perindustrian, Alexander Barus mengatakan saat ini industri Indonesia belum siap menghadapi aturan REACH. "Dari seluruh industri yang telah diberikan sosialisasi mengenai REACH, baru 42 persen yang siap, sisanya belum," kata Alex dalam Seminar Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, di Hotel Borobudur, Selasa (9/3).
Alex mengatakan pihaknya sudah mensosialisasikan aturan Eropa tersebut kepada 522 perusahaan.
Menurutnya, industri paling siap baru industri mesin elektrik. "Sedangkan yang paling tidak siap adalah Usaha Kecil dan Menengah," ujarnya.
Adri Yudha Wibawa, Product Development Industry Support Services Strategic Business Unit, Surveyor Indonesia menambahlan, sudah terjadi penurunan ekspor furnitur Indonesia ke Eropa. "Dari 120 kontainer per bulan menjadi 30 per bulan pada 2009," kata dia.
Adri menyebutkan, penurunan tersebut karena konsumen di Eropa meminta data uji melamin untuk furnitur berbahan baku rotan. "Namun, di Indonesia tidak aga laboratorium uji melamin, yang ada Hongkong," kata dia.
Adri lalu menjelaskan, untuk penyediaan infrastruktur laboratorium bahan kimia yang bersertifikat memang sulit. "Apalagi karena harus bersertifikat Good Laboratory Practice (GLP)," kata dia.
Adri menjelaskan, laboratorium bersertfikat GLP juga harus terkoneksi dengan laboratorium bersertifikat GLP lain di seluruh dunia. "Alangkah bagusnya bila Indonesia bisa memiliki laboratorium bersertifikat GLP. Agar tidak terjadi penurunan ekspor ke Eropa," kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Ekspor Hasil Industri dan Pertambangan, Kementerian Perdagangan, Albert Tobogu menjelaskan, aturan REACH didasarkan semakin meningkatnya penggunaan bahan-bahan kimia. Dia menyebutkan, pada 2008 saja, penggunaan bahan kimia mencapai US$ 3000 miliar atau Rp 30 ribu miliar.
Namun, Albert memandang aturan REACH tidak harus memberatkan pengusaha Indonesia. Pada regulasi REACH, sebetulnya, tanggung jawab terdapat pada importir di Eropa. "Dimana importir harus bertanggungjawab penuh pada produk berbahan kimia di wilayahnya," ujarnya.
Pernyataan tersebut didukung Toga Raja Manurung, Ketua Asosiasi Eksportir Minyak Atsiri. "Karena ini aturan Eropa maka sebaiknya harus bekerjasama dengan baik dengan importir dari Eropa," kata dia.
EKA UTAMI APRILIA