TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Perhimpunan Indonesia Berseru, Tejo Wahyu Jatmiko, menganggap pemerintahan Joko Widodo gagal mengatasi permasalahan ketahanan pangan di Indonesia. Ia mengatakan, di periode pertama saat Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mereka menerima berbagai usulan dari berbagai pegiat pangan, untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi di Indonesia.
"Teman-teman masyarakat sipil yang mengurus pangan waktu itu benar-benar menganggap seperti new hope gitu, karena usulan-usulan dari pegiat pangan itu diambil semuanya," ujar Tejo ketika menyampaikan capaian Jokowi selama 10 tahun di Kopikina, Jakarta Selatan, pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Tejo mengatakan, saat itu, Jokowi berencana menata ulang berbagai sumber agraria sebagai upaya mengatasi krisis pangan. Penataan ulang itu diperuntukkan agar masyarakat Indonesia dapat sejahtera. "Jadi yang pertama, menata ulang sumber-sumber agraria. Jadi itu bukan hanya lahan, tapi juga ada tanah, air, hutan, benih, kredit gitu, itu yang bisa menjadi sumber-sumber untuk membangun kesejahteraan," ucap dia.
Pemerintahan era Jokowi-Jusuf Kalla saat itu menurutnya masih mengikuti alur Susilo Bambang Yudhoyono dalam program kedaulatan pangan. "Jadi copy paste juga, benderanya aja kedaulatan pangan, tapi dalam pelaksanaannya ya, kalau ini memang masalah mesinnya," tutur Tejo.
Menurut Tejo, selama lima tahun pertama, program ketahanan pangan pemerintahan Jokowi tidak berfokus pada ketahanan pangan, namun hanya menekankan komoditas pangan yang terdapat di Indonesia. "Mesinnya ini masih mesin lama, di Kementerian Pertanian, dan itu orang-orang lama, jadi mereka business as usual aja. Akhirnya juga, bahwa nilainya juga merah semua, jadi artinya target-target yang dicanangkan ini baru dari segi komoditas ya," ujar dia.
Sementara itu, Tejo mengatakan, angka impor beras pada lima tahun pertama Jokowi memimpin masih terbilang cukup tinggi. Menurutnya, hal tersebut juga tidak dapat diselesaikan dan masih terjadi permasalahan. "Impornya ini masih berkelanjutan gitu. Beras yang menjadi program khususnya itu juga tetap saja gitu, masih bermasalah di sana," kata Tejo.
Selain itu, Tejo menganggap, produksi pangan pada lima tahun pertama pemerintahan Jokowi, dinilai tidak mensejahterakan. Alasannya, kondisi lahan pertanian Indonesia yang turut mengalami kehancuran sejak adanya impor beras. "Bisnis produksi pangan itu tidak mesejahterakan, tidak menguntungkan mereka (petani dan nelayan). Sementara di satu sisi lahan-lahan pertanian juga terus tergerus gitu," ucap dia.
SAyangnya, pada lima tahun kedua, saat Jokowi berpasangan dengan Ma'ruf Amin, kebijakan ketahanan pangan makin luput diperhatikan. "Tapi kemudian yang kedua, mungkin setelah babak belur gitu ya, diturunkan gitu. Jadi sangat jarang atau bahkan tidak pernah para pejabat Jokowi ngomong tentang kedaulatan pangan, ngomongnya diubah jadi swasembada pangan," ujar Tejo.
Menurut Tejo, jarangnya pembahasan kebijakan ketahanan pangan disebabkan pemerintahan Jokowi masih bergantung pada impor beras. Meskipun begitu, kata Tejo, kegiatan impor dalam pemerintahan Jokowi disebut sebagai swasembada pangan. "Ada yang mendefinisikan swasembada pangan itu ya, pokoknya asal di atas 50 persen, kita bisa memproduksi, itu swasembada. Nah, kalau beras masih sekitar 10 persen kita impor itu masih dianggap swasembada," tuturnya.
Tejo mengatakan, di periode kedua, Jokowi hanya mengubah sebagian kebijakan tentang ketahanan pangan. Perubahan itu, kata dia, terkait prioritas Jokowi mencari sumber pangan yang ada di laut daripada di darat. "Nah, semuanya diubah gitu, kalau kemarin darat, sekarang laut. Mungkin karena di darat pusing kemudian lebih ngomongin tentang sumber pangan laut," ucap Tejo.
Sehingga akhirnya, Tejo menilai, kebijakan yang dibuat selama 10 tahun pemerintahan Jokowi dalam hal ketahanan pangan, dianggap gagal total terutama dengan kondisi kenaikan harga pangan masih terus terjadi sampai saat ini. "Sampai sekarang kebijakan dan pilihan-pilihan yang dilakukan pemerintah itu ternyata tidak memperbaiki situasi pangan ini," tutur dia.
Pilihan editor: Prabowo Dikabarkan Bakal Memecah Kemenkop UKM, Ekonom: Lebih Didominasi Alasan Politik