Sebelumnya, BPS melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 adalah minus 0,12 persen (MtM). Angka itu sekaligus menunjukkan tren deflasi yang terus berlangsung selama lima bulan terakhir sejak Mei 2024.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menuturkan bahwa Indonesia juga pernah mengalami fase deflasi pada 1999 setelah krisis ekonomi Asia. Pada momen tersebut, deflasi terjadi selama tujuh bulan berturut-turut, yaitu Maret hingga September 1999.
“Indonesia pernah mengalami deflasi tujuh bulan berturut-turut selama Maret sampai September 1999 karena penurunan harga beberapa barang pada saat itu, setelah inflasi yang tinggi,” ucap Amalia di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa, 1 Oktober 2024.
Menurut dia, inflasi yang tinggi kala itu diakibatkan oleh depresiasi dari nilai tukar rupiah. Tekanan depresiasi yang menurun, lanjut dia, membuat harga-harga kembali ke kondisi semula. “Jadi, deflasi itu dibentuk karena adanya harga yang turun,” ujar Amalia.
Dia menyebut, deflasi selama beberapa bulan berturut-turut juga sempat terjadi pada Januari 2008 hingga 2009 yang disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia. Kemudian, selama masa pandemi Covid-19 pada 2020, deflasi juga berlangsung pada Juli hingga September 2020.
Amalia menjelaskan, turunnya harga bahan pangan menjadi faktor utama penyebab deflasi beruntun pada 2024. Penurunan harga tersebut dialami oleh produk tanaman hortikultura, seperti cabai rawit, cabai merah, daun bawang, dan wortel, serta produk peternakan, seperti telur ayam ras dan daging ayam ras yang beberapa bulan sebelumnya mengalami peningkatan harga.
Lebih lanjut, dia mengemukakan bahwa penurunan harga itu disebabkan oleh biaya produksi yang turun. “Karena biaya produksi turun, tentunya ini akan dicerminkan oleh harga di tingkat konsumen turun. Nah, inflasi maupun deflasi ini yang tertangkap di IHK,” kata Amalia.
Oyuk Ivani S berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Ekonom Sarankan Pemerintahan Prabowo Evaluasi Program Bansos Agar Tepat Sasaran