TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan menjual aset PT Indofarma (Tbk) yang tersisa untuk menyelesaikan masalah kepegawaian. Perusahaan farmasi milik negara itu bangkrut gara-gara utang dan salah urus menyusul berakhirnya pandemi Covid-19.
"Untuk pegawai, kita menyediakan penjualan aset yang akan kita jual bertahap untuk menyelesaikan isu kepegawaian agar semakin efisien ke depan," ujar Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo di Jakarta, Senin, 2 September.
Total gaji pegawai yang harus diselesaikan oleh Indofarma adalah sebesar Rp95 miliar. Penjualan sisa aset Indofarma tersebut, kata Tiko, diharapkan dapat melunasi seluruh tunggakan pembayaran gaji.
"Mereka sudah mengalokasikan aset, yang jumlahnya sangat memadai, dibantu oleh Holding Biofarma. Bertahap aset ini akan diselesaikan oleh Holding, dibeli, untuk kemudian digunakan untuk penyelesaian karyawan, bertahap," kata Tiko.
Lebih lanjut, Kementerian BUMN berencana mengubah model bisnis Indofarma. Ke depan, Indofarma tidak lagi menyediakan produk, tetapi mengerjakan pesanan dari perusahaan induk PT Biofarma (Persero).
"Kami merencanakan Indofarma ini akan menjadi perusahaan yang istilahnya made to order, maklon, jadi ada pesanan dari Biofarma dan melakukan efisiensi," ucapnya.
Saat ini, kasus fraud atau kecurangan dalam laporan keuangan Indofarma tengah ditangani oleh Kejaksaan Agung. Selain itu, Indofarma juga baru saja menyelesaikan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Kronologi Indofarma Terbelit Masalah
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah masalah di manajemen Indofarma dan anak perusahaannya, PT IGM. Perusahaan milik negara yang berbisnis di bidang produksi obat dan alat kesehatan itu diketahui terjerat pinjaman online atau pinjol yang menimbulkan piutang macet sebesar Rp 124,9 miliar.
Temuan ini tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2023 yang disampaikan BPK ke DPR pada Kamis, 6 Juni 2024. BPK juga menemukan sejumlah temuan lain terkait aktivitas Indofarma yang menyebabkan kecurangan atau kerugian pada perusahaan farmasi tersebut.
“Ditemukan bahwa PT Indofarma Tbk dan PT IGM melakukan pengadaan alat kesehatan tanpa studi kelayakan dan penjualan tanpa analisa kemampuan keuangan customer,” ungkap Ketua BPK, Isma Yatun.
Berdasarkan laporan Majalah Tempo berjudul “Apa Saja Modus Korupsi Indofarma”, temuan fraud di BUMN ini berawal dari para auditor negara yang menjalankan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau PDTT pada 2023 di Indofarma. BPK menemukan indikasi kerugian negara hingga total Rp 371,83 miliar dari kegiatan Indofarma selama 2020 hingga semester I 2023.
“BPK menyimpulkan adanya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana oleh pihak-pihak terkait dalam pengelolaan keuangan Indofarma,” kata Wakil Ketua BPK Hendra Susanto pada Selasa, 21 Mei 2024.
Menurut dokumen audit yang dillihat Tempo, salah satu indikasi kerugian Indofarma muncul dari penyimpangan jual-beli alat kesehatan pada anak usaha Indofarma, PT Indofarma Global Medika atau IGM.
IGM disebutkan menjual alat kesehatan kepada perusahaan terafiliasi, PT Promosindo Medika atau Promedik. Padahal Promedik tak punya kemampuan membayar.
Atas persetujuan IGM, Promedik lalu menjual sebagian besar alat kesehatan itu kepada suatu perusahaan yang baru didirikan dan belum berpengalaman. Dalam proyek ini, terjadi piutang macet Rp 124,9 miliar.
Agar pembayaran piutang tersebut terlihat tidak macet, PT IGM pun melakukan rekayasa pembayaran. Caranya, IGM meminta Promedik meminjam uang sebesar Rp 24,5 miliar untuk kemudian disetorkan ke IGM, yang seolah-olah menjadi dana pelunasan piutang. IGM juga menjamin pinjaman Promedik itu dengan deposito senilai Rp 36,5 miliar.
Setelah itu, IGM meminjam uang di luar sistem pembukuan kepada platform pinjaman online sebesar Rp 69,7 miliar. Pinjaman itu dilakukan dengan menggunakan nama IGM dan pegawai IGM. Dana pinjaman tersebut kemudian ditransfer ke IGM sebesar Rp 43,7 miliar, seolah-olah sebagai pembayaran piutang usaha Promedik.
Berikutnya: Terbelit Pinjol Rp75 miliar