TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut tren konsumsi kelas menengah sedang merosot.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah terus turun. Jika pada 2019 masih sebanyak 57,33 juta orang, pada 2021 menjadi 53,83 juta dan pada 2022 turun lagi menjadi 49,51 juta.
Sementara itu, kelas menengah banyak yang turun menjadi kelompok menuju kelas menengah, sehingga jumlahnya naik dari 136,92 juta pada 2023 menjadi 137,50 juta pada tahun 2024. Sedangkan jumlah penduduk kelas atas mengalami penurunan dari 1,26 juta di 2023 menjadi 1,07 juta pada 2024.
Siapa yang termasuk kelompok kelas menengah?
Kelompok kelas menengah mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar Rp2.040.262 sampai Rp9.909.844 per kapita per bulan pada 2024. Jumlah itu ditentukan oleh standar Bank Dunia soal kelas menengah dengan perhitungan 3,5-17 kali garis kemiskinan suatu negara.
Standar tingkat pengeluaran kelas menengah meningkat dari 2019, yakni pada rentang Rp1.488.375 hingga mencapai Rp7.229.250.
Sedangkan kelompok menuju kelas menengah merupakan masyarakat yang memiliki pengeluaran 1,5-3,5 kali garis kemiskinan, yaitu pada rentang Rp874.398 hingga Rp2.040.262 pada 2024, dan Rp637.875 hingga Rp1.488.375 pada 2019.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebut saat ini 42 persen dari penduduk menuju kelas menengah (aspiring middle class) berasal dari Gen Z dan Gen Alpha.
“Kalau kita lihat usia dari penduduk kelas menengah, sekitar satu dari tiga penduduk kelas menengah itu merupakan Generasi Z dan Generasi Alpha,” kata Amalia.
Penguatan sektor manufaktur bisa jadi pilihan
Amalia menyebut menurunnya konsumsi kelas menengah ini merupakan dampak dari Covid-19. Mewakili BPS, Amalia menyarankan pemerintah untuk untuk membuat kebijakan yang memperkuat daya beli kelas menengah. Hal ini dikarenakan kelompok ini memiliki kontribusi yang tinggi terhadap perekonomian Indonesia.
“Penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tapi juga untuk kelas menengah (middle class) dan menuju kelas menengah (aspiring middle class),” kata Amalia Adininggar Widyasanti saat konferensi pers, di Jakarta, Jumat, 30 Agustus 2024.
Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Raden Pardede menyatakan sektor manufaktur menjadi opsi yang dapat menyelamatkan kelas menengah.
“Persoalan di kelas menengah, pilarnya itu sektor formal dan manufaktur yang produktivitasnya relatif tinggi,” kata Raden dalam seminar Optimisme Baru Pembangunan Ekonomi Era Pemerintahan Prabowo-Gibran di Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2024.
Menurutnya, penurunan konsumsi kelas menengah mulai terjadi pasca Covid-19. Pada periode itu, ekonomi turut mengalami krisis, sementara bantuan yang diberikan oleh pemerintah lebih banyak menyasar kelas miskin dan rentan. Di sisi lain kelas atas cenderung relatif aman. Sedangkan kelas menengah relatif terdampak.
Raden juga meyebut, penciptaan lapangan kerja beberapa tahun terakhir lebih banyak terjadi di sektor informal dan sektor yang kurang produktif. Misalnya, pekerjaan ojek daring yang lebih berfokus pada layanan jasa dibandingkan produksi.
Menurutnya, partisipasi kelas menengah di sektor manufaktur dinilai dapat meningkatkan kualitas produk manufaktur. Bila ini terjadi maka produktivitas manufaktur dapat bekerja dan kelas menengah memiliki pendapatan yang memadai untuk menopang daya beli mereka.
“Maka, mesin ekonominya akan bergerak sendiri karena daya belinya kuat untuk membeli barang-barang kita, dan manufakturnya juga bekerja,” tutur Raden.
LINDA LESTARI I HENDRI AGUNG PRATAMA I BAGUS PRIADI I ANTARA
Pilihan editor: 9,8 Juta Kelas Menengah RI Turun Kasta, Ini Dampaknya Bagi Pertumbuhan Ekonomi