Dalam wawancara dengan Tempo, Hudi mengakui, financial institution selalu mencari ‘green’ pada saat mereka mengucurkan investasi. Salah satunya adalah pengembangan oil and gas yang bisa dijual bahwa pengembangan ini juga meng-capture carbon.
Sedangkan menyoroti masalah Co2 sequestration, saat ini sudah ada empat proyek yang disetujui pengembangannya dengan ada-atau-tidak-adanya CCS (capture carbon) atau pun CCUS package-nya (menginjeksi karbonnya kembali untuk kepentingan produksi). Pertama adalah Ubadari Carbon Capture project milik BP atau bagian dari BP tanggung expansion project. Kedua adalah proyek abadi Masela yang setelah disetujui revisinya, maka salah satu tambahannya adalah penambahan skema CCS. Terakhir, sakakemang repsol yang proyek CCS-nya sudah disetujui.
“Secara keseluruhan kira-kira itu upaya-upaya yang dilakukan Hulu Migas despite being of fossil based atau carbon based industry, kami juga memastikan apa yang kami generate, tetap kami capture juga,” kata Hudi.
Jika dilihat, misalnya dari seluruh upaya yang sudah dilakukan, maka yang paling mudah adalah penanaman pohon. Hanya saja, tantangannya adalah kesiapan bibit dan ketersediaan lahan di area yang bukan DAS.
“Kami (SKK Migas) dianggap memproduksi energi kotor. Kami ingin tegaskan ini bukan sekadar bicara energi kotor atau green energy namun kami melakukan berbagai upaya untuk memastikan carbon yang kami lepaskan ini kami capture atau kami kurangi potensi yang kami keluarkan,” kata Hudi.
SKK migas juga mendorong agar pipa Cisem dan pipa Dumai Sei-mengkei bisa terhubung supaya gas yang ada di Jawa Timur bisa terkoneksi sampai ke atas. Pasalnya, Jawa barat mengalami defisit gas, sedangkan Jawa Timur surplus sehingga ada beberapa project yang akhirnya stranded (tidak bisa diproduksikan). Gas tidak sama dengan minyak karena gas harus sudah ada pembeli - baru produsen memproduksinya.
Keberadaan hulu migas tetap akan memberikan impact positif terhadap perekonomian Indonesia. Saat yang sama, green energy atau energi bersih harus terus dikembangkan. Untuk menuju green energy ini, dibutuhkan transisi, yang mana transisinya ini adalah gas .
Sementara itu, Rere Christanto Kepala Divisi Kampanye Walhi menilai ada beberapa faktor yang dapat mendorong atau menghalangi penggunaan energi bersih (EBT). Pertama secara politik, jika ada jaminan berupa regulasi yang berpihak pada pengembang energi bersih, maka ada kepastian hukum bagi mereka sehingga mendorong pengembang energi bersih lebih yakin akan investasinya.
Kedua, secara ekonomi, jika pertumbuhan ekonomi negara meningkat, ditambah adanya dukungan insentif harga bagi pengembang energi bersih, maka akan lebih banyak investasi disektor itu.
Ketiga dari sisi teknologi, saat inovasi teknologi energi bersih bisa meningkatkan efisiensi dan efektifitas serta mampu menekan biaya produksi, maka energi bersih akan punya nilai tawar lebih baik dibanding energi fosil. Terakhir secara sosial, jika kesadaran publik akan pentingnya energi bersih bagi lingkungan dan kehidupan sudah menguat, maka akan ada lebih banyak dukungan untuk pengembangan energi bersih.
Pilihan Editor: 10 Perusahaan dengan Pendapatan Terbesar Versi Fortune Indonesia, Didominasi Sektor Energi