TEMPO.CO, Jakarta - Kebijakan pemerintah pusat memotong 3 persen gaji pekerja swasta untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera picu keresahan para pekerja Pekerja di Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Di Morowali, para pekerja ini tergabung dalam Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi atau SBIPE IMIP.
Ketua SBIPE IMIP Henry Foord Jebss bercerita, kebijakan itu menjadi bahan diskusi anggota serikat sepanjang hari Selasa, 28 Mei 2024. “Setelah diskusi, sikap kami tegas menolak pemotongan gaji untuk Tapera,” tutur Hendry melalui sambungan telepon kepada Tempo, Selasa, 28 Mei 2024.
Kebijakan pemotongan upah pekerja swasta untuk Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024. Beleid yang merupakan revisi PP Nomor 25 Tahun 2020 ini diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024. Kepala negara mengklaim pemerintah sudah memperhitungkan kebijakan potong gaji 3 persen untuk Tapera. Ia mengatakan manfaat Tapera bisa dirasakan ketika program sudah berjalan.
Akan tetapi, Henry menyatakan SBIPE IMIP tidak percaya pada program yang disodorkan Jokowi itu. Menurutnya, tidak ada bayangan soal rumah yang bisa didapatkan buruh setelah menyetor iuran Tapera. Ada pertanyaan sederhana yang menurut Henry belum tergambarkan jawabannya. “Di mana rumah yang bakal dibangun untuk buruh IMIP yang ikut Tapera?” ucapnya.
Alih-alih optimistis bisa memiliki hunian pribadi setelah ikut Tapera, Henry justru was-was kebijakan itu kian mempersulit hidup karena pendapatan bersih berkurang. Sebab tanpa iuran Tapera pun, buruh sudah susah payah untuk mencukupi kebutuhan. Menurut Henry, situasi ini terjadi lantaran mereka terjebak praktik upah murah.
Dari pengakuan Henry, upah buruh di IMIP bervariasi tetapi rata-rata sebesar Rp 4 juta per bulan. Bagi pekerja baru, ia menambahkan, malah bisa di kisaran Rp 3 juta saja. Untuk bisa mendapat upah di atas Rp 5 juta, buruh harus memperpanjang jam kerja alias lembur.
Henry berujar, uang itu seringkali habis untuk menutup kebutuhan sehingga buruh kesulitan menabung. Apalagi belum lama ini kebutuhan pokok, seperti beras, naik harga. Belum lagi dengan biaya sewa rumah atau kontrakan. Ia mengatakan sewa hunian layak di Morowali bisa mencapai Rp 1,5 juta per bulan. Sementara, tunjangan perumahan yang diberikan perusahaan hanya Rp 600 ribu alias pekerja masih harus nombok. “Kalau kami harus iuran Tapera, situasinya (ekonomi buruh) bisa makin parah,” tutur Henry.
Henry menilai kebijakan potong gaji untuk Tapera tidak adil, terutama bagi buruh IMIP yang sudah berkontribusi dalam program penghiliran nikel kebanggaan Jokowi. Alih-alih mendapat timbal balik dari negara, Henry merasa buruh IMIP justru tercekik dengan kebijakan Tapera. “Kenyataan yang dihadapi buruh di IMIP yang dibangga-banggakan Jokowi, memang luput dari perhatian,” tuturnya.
Ia tidak bisa membayangkan bila buruh di IMIP harus lembur lebih lama demi bisa menutup kebutuhan hidup sekaligus membayar iuran Tapera. Apalagi, bekerja di industri penghiliran nikel risikonya besar.
Bayang-bayang kecelakaan kerja mengintai saban hari lantaran kecelakaan terjadi berulang kali. Sebagai contoh, ledakan tungku smelter di Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) pada 24 Desember 2023 yang menewaskan 21 pekerja. “Banyak terjadi (kecelakaan kerja) di Kawasan IMIP, lalu tersorot berbagai kalangan karena ITSS. Tapi jauh sebelum itu, sering terjadi kecelakaan serupa,” kata Henry.
Setelah memeras keringat demi iuran Tapera pun, Henry menambahkan, tidak ada jaminan uang yang disetor ke Tapera bisa diklaim manfaatnya. Keraguan ini bukan tanpa alasan.
Ia berkaca dari kasus pekerja yang sulit mengklaim manfaat BPJS Ketenagakerjaan.Belum lagi dengan kekhawatiran akan potensi korupsi pengelolaan dana, seperti yang terjadi pada kasus Jiwasraya maupun Asabri. “Tapera itu kebijakan yang memaksakan, sehingga kami menolak,” ujar Henry. “Menabung sendiri lebih baik daripada menitipkan uang pada negara.”
Menyoal polemik Tapera, sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa Tapera merupakan tabungan yang bisa dimanfaatkan pekerja untuk mendapatkan rumah. Ia menepis anggapan bahwa uang yang disetor tidak bisa diklaim manfaatnya. "Tapera itu tabungan. Bukan (gaji) dipotong, terus hilang," kata Basuki, Selasa, 28 Mei 2024.
Komisioner Badan Pengelola (BP) Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengatakan dana yang dihimpun peserta akan dikelola BP Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan ketika masa kepesertaannya berakhir. "Dana yang dikembalikan berupa sejumlah simpanan pokok, berikut hasil pemupukannya," kata Heru melalui siaran pers BP Tapera tanggal 27 Mei 2024.