TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakna instruksi Menteri BUMN Erick Thohir agar BUMN yang memiliki porsi utang luar negeri dan punya kebutuhan bahan baku impor besar untuk segera memborong dolar Ameria Serikat tidak bijak. Menurut Erick hal itu untuk mengatisipasi imbas konflik Iran-Israel yang sedang memanas.
"Tentu kalau sitausi dolar lagi menguat (seperti sekarang), tidak bijak membeli dolar di harga tinggi," kata Airlangga saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat pada Kamis, 17 April 2024.
Airlangga menilai BUMN saat ini justru perlu meredam kebutuhan terhadap dolar. Pemerintah sendiri, kata dia, punya instrumen yaitu devisa hasil ekspor (DHE) yang ingin didorong di dalam negeri. Tetapi, dia meminta BUMN tetap menahan impor konsumitif dalam situasi geopolitik yang sedang memanas saat ini.
Adapun Erick meminta BUMN yang punya kebutuhan bahan baku impor tinggi dan BUMN dengan porsi utang luar negeri yang besar untuk segera membeli dolar Amerika Serikat dalam jumlah besar. BUMN yang dimaksud yaitu Pertamina, PLN, BUMN Farmasi, dan MIND ID.
Erick juga menginstruksikan BUMN tersebut melakukan kajian sensitivitas terhadap pembayaran pokok utang. Serta pembayaran bunga utang dalam dolar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat. Erick juga meminta BUMN perbankan menjaga secara proporsional porsi kredit yang terdampak oleh volatilitas rupiah, suku bunga, dan harga minyak.
Dia menjelaskan, inflasi Amerika Serikat sebesar 3,5 persen membuat langkah the Fed menurunkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Menurut Erick, situasi geopolitik juga semakin bergejolak dengan memanasnya konflik Israel dan Iran beberapa hari yang lalu.
Kondisi ini, kata dia, memicu menguatnya dolar Amerika Serikat terhadap rupiah. Serta kenaikan harga minyak WTI dan Brent yang masing-masing telah menembus US$ 85,7 dan US$ 90,5 dolar per barel.
"Harga minyak ini bahkan diprediksi beberapa ekonom bisa mencapai 100 dolar AS per barel apabila konflik meluas dan melibatkan Amerika Serikat," ucapnya.
Erick berujar dua hal tersebut telah melemahkan rupiah menjadi Rp 16.000-16.300 per dolar Amerika Serikat dalam beberapa hari ke belakang. Nilai tukar ini bahkan bisa mencapai lebih dari Rp 16.500 apabila tensi geopolitik tidak menurun.
Karena itu, Erick menilai situasi ekonomi dan geopolitik tersebut sudah dan akan berdampak kepada Indonesia melalui Foreign Outflow alias keuarnya dana investasi asing, yang akan memicu melemahnya rupiah dan naiknya imbal hasil obligasi. Juga berdampa pada semakin mahalnya biaya impor bahan baku dan pangan karena gangguan rantai pasok. Kondisi ini juga, menurut Erick, akan menggerus neraca perdagangan Indonesia.
Oleh karena itu, Erick meminta BUMN melakukan langkah cepat dalam meminimalisasi dampak global melalui peninjauan ulang biaya operasional belanja modal, utang yang akan jatuh tempo, rencana aksi korporasi, serta melakukan uji stres, dengan melihat kondisi BUMN dalam situasi terkini.
Erick juga menginstruksikan BUMN yang berorientasi pasar ekspor seperti MIND ID dan PTPN bisa memanfaatkan tren kenaikan harga ini untuk memitigasi tergerusnya neraca perdagangan. Ia berujar BUMN yang memiliki utang luar negeri atau berencana menerbitkan instrumen utang dalam dolar Amerika Serikat agar mengkaji opsi hedging untuk mengurangi dampak fluktuasi kurs.
"Seluruh BUMN diharapkan dapat waspada dan awas dengan memantau situasi saat ini, mengingat kemungkinan terjadi kenaikan tingkat suku bunga dalam waktu dekat," kata Erick.
Pilihan Editor: Pertamina Patra Niaga Pastikan BBM dan Operasional Aman Pasca Erupsi Gunung Ruang