Pelemahan rupiah yang terus berlanjut akan memberikan dampak langsung pada sektor-sektor yang banyak melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan input produksi seperti industri makanan dan minuman, farmasi, dan kimia.
Merespons pelemahan rupiah yang terjadi belakangan, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) pun berharap BI dapat segera melakukan intervensi untuk memulihkan nilai tukar rupiah sehingga dampak terhadap sektor mamin tidak terlalu berat.
Pasalnya, harga pokok produksi dan biaya logistik di sektor makanan dan minuman turut terpengaruh akibat pelemahan rupiah. Hal ini karena pelaku usaha memerlukan banyak bahan baku yang harus diimpor.
Di sisi lain pada sektor perbankan, fluktuasi nilai tukar yang moderat tidak memberi pengaruh signifikan terhadap bisnis pelaku industri perbankan.
Dari pihak perbankan, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) misalnya, menyampaikan keyakinannya bahwa regulator dan pemerintah selalu merespons pergerakan nilai tukar rupiah yang terjadi secara terukur, sehingga hal tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap industri perbankan.
Apabila pelemahan rupiah terus berlanjut, bank-bank yang memiliki portofolio bisnis luar negeri dalam porsi besar atau terkait kegiatan treasury, trade financing, dan international banking yang berhubungan erat dengan valas, kemungkinan akan merasakan dampaknya secara langsung.
Namun data terakhir menunjukkan, eksposur neto untuk valas di perbankan masih terbilang kecil dengan rasio posisi devisa neto (PDN) yang sebesar 1,44 persen di akhir tahun 2023 atau masih jauh di bawah ambang batas atau threshold 20 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menilai penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) valas terhadap total DPK di industri perbankan saat ini juga masih relatif rendah. Begitu pula dari sisi penyaluran kredit dalam valas.
Oleh sebab itu, industri perbankan tidak terkena dampak signifikan atas pelemahan rupiah yang terjadi belakangan dan laba bank juga tidak ikut tergerus. Namun risiko lain juga bisa muncul, yaitu peningkatan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) pada bank-bank yang menyalurkan kredit valas dalam porsi besar, terutama ke sektor-sektor yang rentan terhadap pelemahan ekonomi global.
Suku bunga acuan BI-Rate naik?
Belakangan ini, muncul opsi terbuka untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI-rate. Dengan menaikkan suku bunga acuan, diharap dapat menahan laju pelemahan rupiah agar tak terperosok semakin dalam.
Apalagi, ketidakpastian di pasar keuangan global saat ini masih sangat tinggi dan dapat dengan cepat berubah drastis. Kondisi geopolitik dan antisipasi rilis beberapa data di AS pun menjadi sangat penting dan berpengaruh.
Namun, ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan periode 2014-2016, Bambang Brodjonegoro, menilai keputusan untuk menaikkan BI-rate bukanlah langkah yang tepat mengingat penguatan dolar AS terjadi terhadap hampir semua mata uang negara lainnya.
Sedangkan Faisal, ekonom dari PermataBank, memandang bahwa langkah untuk menaikkan suku bunga acuan akan menjadi opsi terakhir bagi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen pada Maret lalu. Pada pekan depan atau pada 23-24 April 2024, BI dijadwalkan kembali menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang salah satunya untuk menetapkan besaran suku bunga acuan.
BI, sebagai bank sentral yang mengatur kebijakan moneter di Indonesia, sebenarnya memiliki langkah andalan untuk menahan laju pelemahan rupiah salah satunya yaitu dengan melakukan intervensi rangkap tiga atau triple intervention.
Untuk menjaga kestabilan rupiah kali ini, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) BI, Edi Susianto, mengatakan bahwa BI menjaga keseimbangan supply-demand valuta asing di pasar melalui triple intervention yang dilakukan terutama di spot dan domestic non-deliverable forward (DNDF).
Selain itu, BI juga meningkatkan daya tarik aset rupiah untuk mendorong aliran modal asing atau capital inflow seperti lewat daya tarik Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan hedging cost.
Faisal, ekonom PermataBank, menilai bahwa langkah-langkah dilakukan BI saat ini sudah tepat karena bank sentral itu memiliki amunisi yang cukup kuat untuk melakukan intervensi.
Amunisi BI
Untuk menahan pelemahan rupiah lebih lanjut, Bl juga sebenarnya masih mempunyai amunisi yang cukup banyak dan kuat ditopang oleh cadangan devisa yang masih terbilang relatif tinggi sehingga Bl masih bisa akan terus masuk dan melakukan intervensi ke pasar.
Menurut BI, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2024 tetap tinggi sebesar 140,4 miliar dolar AS meski menurun dibandingkan posisi pada akhir Februari 2024 sebesar 144,0 miliar dolar AS.
BI pun menilai, cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Di sisi lain, upaya menjaga kestabilan rupiah secara berkelanjutan tak hanya dititikberatkan pada otoritas moneter. Yang tak boleh terlewatkan, upaya penguatan rupiah kembali perlu didukung oleh langkah-langkah strategis pemerintah.
Dalam hal ini, pemerintah harus menjaga inflasi dengan menurunkan inflasi pangan. Sebagaimana diketahui, inflasi pangan merupakan faktor penyebab inflasi Indonesia yang saat ini kembali dalam tren meningkat.
Dengan inflasi yang dapat dijaga stabil dan rendah, maka real return dari instrumen keuangan Indonesia akan cenderung lebih menarik bagi investor asing. Posisi ini baik bagi Indonesia saat banyak negara masih berjuang dengan inflasi yang tinggi di atas target.
ANTARA
Pilihan Editor Fakta Erupsi Gunung Ruang: Ancaman Tsunami sampai Belasan Penerbangan di Manado Dibatalkan