TEMPO.CO, Jakarta - Kabar 'penggusuran' warga RT 05 Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang berada di area Ibu Kota Negara (IKN) oleh Otorita Ibu Kota Nusantara atau OIKN, banyak menjadi sorotan akhir-akhir ini.
Amnesty International dan Konsorsium Pembaharuan Agraria langsung mempertanyakan janji pemerintah bahwa pembangunan IKN itu tidak akan diwarnai penggusuran.
Sementara Kepala OIKN Bambang Susantono menegaskan, tidak ada penggusuran yang dilakukan terhadap warga di Kecamatan Sepaku, terkait proyek pembangunan IKN.
Ihwal sengkarut masalah ini, bermula dari dua lembar surat berkop OIKN bertanggal 4 Maret 2024 yang dilayangkan Otorita IKN pada 8-9 Maret 2024, disebutkan bahwa rumah warga di RT 05 Pemaluan harus segera dibongkar pada 29 Agustus 2023 dan 4 hingga 6 Oktober 2023 karena tidak sesuai dengan rencana induk IKN.
Badan Bank Tanah ikut mengultimatum warga Sepaku dengan menerbitkan surat bertarikh 18 Maret 2024 yang diteken oleh Pimpinan Proyek Badan Bank Tanah Kabupaten Penajam Paser Utara, Syafran Zamzami. Disebutkan bahwa lahan seluas 4.162 hektare yang tersebar di Kecamatan Penajam dan Kecamatan Sepaku berada di bawah Hak Pengelolaaan Badan Bank Tanah.
OIKN lalu mengeluarkan Surat Teguran Pertama No. 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024 dan memberikan waktu 7x24 jam pada hari kerja bagi warga untuk merobohkan bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.
OIKN pada 8 Maret 2024 mengundang sekitar 200 warga yang rumahnya dianggap tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang IKN, namun tidak tercapai kesepakatan.
Menurut Amnesty, salah satu alasan ketidaksepakatan ini adalah karena warga merasa khawatir harus merobohkan rumah yang sudah ditempati puluhan tahun, jauh sebelum IKN dibangun.
“Ke mana perginya janji pemerintah untuk membangun IKN tanpa penggusuran?” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.
“Surat dari OIKN tak hanya melecehkan hak masyarakat Sepaku, termasuk hak warga adat suku Balik yang bermukim di sana, tapi juga membuat mereka terancam kehilangan tempat tinggal. Langkah ini melanggar hak konstitusional warga dan hak atas tanah masyarakat adat yang diakui secara internasional”.
Usman Hamid menyatakan bahwa memaksa warga untuk meninggalkan tanah leluhur atau tanah yang sudah sejak lama didiami menunjukkan tindakan yang melanggar prinsip keadilan sosial dan absennya konsultasi bermakna.
“Kami mendesak pemerintah untuk segera menghentikan langkah yang mengancam hak atas tempat tinggal masyarakat Sepaku dan warga adat di sana demi membangun IKN dan membuka ruang konsultasi secara bermakna.”
Sementara Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan surat dari Badan Bank Tanah itu semakin menguatkan fakta bahwa lahan IKN diobral bagi investor. Menurut dia, Badan Otorita IKN juga sempat mengultimatum masyarakat adat Pemaluan. Konsorsium sejak awal menolak Bank Tanah yang terkesan mengadopsi azas domein verklaring—sering disebut negaraisasi tanah—dan menyelewengkan hak menguasai dari negara.
"Parahnya, badan baru ini diberikan kewenangan yang sangat luas dan kuat dalam Omnibus Law dan PP turunannya, termasuk ikut mengurusi tanah obyek Reforma Agraria. Sehingga dengan seenaknya mengambil tanah warga, seperti di IKN."
Bahkan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB menekankan perlunya evaluasi dampak hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang sistematis, transparan, dan independen dalam setiap proyek pembangunan dan kegiatan bisnis.
Rekomendasi yang disampaikan pada 1 Maret 2024 ini menekankan khususnya terkait efek terhadap kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya, serta hak-hak masyarakat adat dan komunitas yang terdampak.
Berikutnya: Bantahan OIKN