TEMPO.CO, Jakarta - Jepang telah masuk ke dalam jurang resesi usai pertumbuhan ekonominya kontraksi atau minus dua kuartal berturut-turut. Dilansir dari Reuters, produk domestik bruto atau PDB Jepang menyusut 0,4 persen secara tahunan pada kuartal ke-IV 2023. Pada kuartal sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Jepang juga menurun 3,3 persen.
"Sebetulnya ada beberapa hal yang patut kita waspadai untuk Jepang," kata Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho saat dihubungi Tempo pada Rabu, 21 Februari 2024.
Dia menuturkan, pemerintah tetap harus mewaspadai resesi Jepang meskipun negeri tersebut telah memberikan surplus perdagangan yang besar, yakni US$ 2,45 miliar ke Indonesia pada 2023. Menurut Andry, tergelincirnya perekonomian Jepang bisa menjalar ke berbagai hal.
Pertama, perdagangan. Dia menjelaskan, Indonesia mengekspor sejumlah komoditas ke Jepang, seperti nickel matte, cobalt, minyak sawit, kayu, hingga produk perikanan berupa ikan beku dan udang beku.
"Jadi saya rasa, dengan adanya resesi ini ada penurunan terhadap permintaan produk-produk unggulan tadi," tutur Andry.
Selain perdagangan, ujar Andry, investasi juga mungkin tertekan. Dia menuturkan, Jepang selama ini mengirimkan komponen-komponen otomotif ke Indonesia.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jepang menjadi negara keempat dengan PMA terbesar ke Indonesia pada kuartal IV 2023. Nilainya mencapai US$ 1,4 juta.
"Kita takutkan, mereka mengerem investasi mereka di luar negaranya, salah satunya di Indonesia," ucap Andry.
Ketiga, perjanjian kerja sama antara Indonesia dan Jepang, terutama di sektor infrastruktur, kemungkinan terdampak. Dia pun mencontohkan proyek MRT.
"Ini yang bisa ditakutkan, pendanaan yang diberikan terhambat dengan adanya kondisi-kondisi yang sangat berat," ujar Andry.
Keempat, sektor pariwisata juga bisa terdampak. Meski angka kunjungan wisatawan Jepang ke Indonesia tak terlalu besar, kata dia, tapi 2024 merupakan tahun pemulihan setelah kondisi Covid-19.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menambhkan, resesi Jepang bisa berdampak secara tidak langsung ke Indonesia. Dampak tidak langsung, menurut dia, justru cukup banyak.
"Yang bisa kita lihat adalah bagaimana ini akan mempengaruhi dampaknya itu terhadap harga komoditas," tutur Yose saat dihubungi Tempo, Rabu.
Dia menuturkan, komoditas memang masih menjadi andalan ekspor Indonesia dan berperan besar terhadap penerimaan negara. Jika resesi menjalar ke negara-negara lain, kata dia, harga komoditas bisa melemah.
"Ini sudah kelihatan, harga-harganya sudah menurun jauh. Nikel misalnya sudah turun 60 persen, batu bara juga turun," ujar dia.
Akibatnya, tutur Yose, penerimaan negara menjadi terganggu. Jika penerimaan negara turun sementara sumber-sumber pendapatan lain belum didapatkan, ada kemungkinan pemerintah harus menarik utang untuk mendanai belanjanya.
"Kalau utang itu meningkat, artinya biaya yang namanya cost of capital, biaya modal di Indonesia juga meningkat dan tentunya akan merembet ke sana ke mari. Mungkin juga akan mengarah ke inflasi yang disebabkan oleh kebijakan fiskal dan moneter," ucap Yose.
Jepang saat ini menjadi salah satu tujuan ekspor terutama bagi Indonesia selain Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Malaysia yang berkontribusi sebesar 54,01% dari total ekspor 2022. Sepanjang 2023 sendiri nilai ekspor Indonesia ke Jepang mencapai US$18,8 miliar, atau terbesar keempat, dengan komoditas terutama mencakup batubara, komponen elektronik, nikel dan otomotif, menurut catatan Kementerian Keuangan. Selain itu ada juga ekspor produk perikanan seperti lobster mutiara, ikan segar, ikan hias, dan rumput laut, juga produk kayu dan karet.
AMELIA RAHIMA SARI | REUTERS
Pilihan Editor: Harga Beras Terus Naik, Solusi Zulkifli Hasan Minta Masyarakat Beralih dari Beras Premium ke Beras SPHP, Apakah Itu?