Penetapan status tersebut, kata Giri, bertujuan agar pengurus dan pemegang saham melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi BPRS Mojo Artho.
“Namun upaya penyehatan yang dilakukan oleh pengurus/pemegang saham tidak dapat mengeluarkan BPRS Mojo Artho dari status pengawasan BDP,” kata dia.
Mempertimbangkan kondisi keuangan BPRS Mojo Artho yang membahayakan kelangsungan usahanya, OJK berdasarkan Pasal 16E ayat (1) Klaster Stabilitas Sistem Keuangan UU P2SK, pada tanggal 12 Januari 2024 menetapkan BPRS Mojo Artho sebagai Bank Dalam Resolusi (BDR) dan sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 angka 6 Klaster Lembaga Penjamin Simpanan UU P2SK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjalankan wewenangnya untuk mengambilalih pengelolaan BPRS.
Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner LPS Nomor 26/ADK3/2024 Tanggal 22 Januari 2024, LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan dan meminta OJK untuk mencabut izin usaha BPRS Mojo Artho.
Menindaklanjuti rekomendasi LPS tersebut, OJK berdasarkan POJK Nomor 28 Tahun 2023 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah, melakukan pencabutan izin usaha BPRS Mojo Artho.
Dengan pencabutan izin usaha tersebut, LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU P2SK.
“OJK mengimbau nasabah PT BPRS Mojo Artho agar tetap tenang karena dana masyarakat di perbankan termasuk BPRS dijamin LPS sesuai ketentuan yang berlaku,” ucap kepala OJK Provinsi Jawa Timur itu.
Pilihan Editor: Fakultas Kedokteran Gigi Unpad Akui Pernah Kerja Sama dengan Pinjol, Setelah Dievaluasi Tak Diperpanjang