TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Nalar Institute Ani Nur Mujahidah Rasunnah memaparkan kajiannya ihwal kebijakan perlindungan sosial di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Salah satunya soal hasil dari besarnya anggaran yang digelontorkan untuk sektor pendidikan.
Ani menilai penggunaan anggaran sebesar 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) belum berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. "Kita tahu skor PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) Indonesia cenderung di bawah rata-rata negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)," ujarnya dalam diskusi Outlook Perlindungan Sosial 2024 yang diselenggarakan Tempo di Jakarta pada Sabtu, 27 Januari 2024.
Pada 2000 skor PISA Indonesia dalam bidang membaca adalah 371. Angka ini turun signifikan pada 2022 menjadi 359. Hal yang sama juga terjadi pada skor bidang sains yang turun dari angka 393 pada 2005 menjadi 383 pada 2021.
Di sisi lain, ia mengungkapkan tingkat pengangguran paling banyak berdasarkan jenjang pendidikan adalah di tingkat SMK. Pada 2022, tercatat tingkat pengangguran lulusan SMK mencapai 9,42 persen.
Selain itu, lulusan S1 tercatat lebih banyak yang menganggur daripada lulusan D3. Nalar Institute mencatat tingkat pengangguran lulusan S1 pada 2022 mencapai 4,22 persen. Sedangkan lulusan D3 sebesar 3,59 persen. "Bahkan di beberapa tahun belakangan, S1 itu lebih banyak menganggur daripada jenjang SMP," ucap Ani.
Di Indonesia, jumlah pekerja informal juga masih lebih banyak dibandingkan pekerja formal. Pekerja informal ini juga rentan mengalami eksploitasi karena minim regulasi untuk kesejahteraan pekerja informal di Tanah Air.
Kemudian, tingkat kemiskinan ekstrem itu juga berkorelasi erat dengan tingkat pendidikan. Ani menggarisbawahi pemerintah pun tidak berhasil untuk mencapai targetnya yaitu kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2024.