Kemudian, ketika pelaku industri spa dari WHEA mendatangi Kemenparekraf, tak ada respons baik dari pihak kementerian. “Kami bicara kepada deputi yang menangani regulasi, jawabannya apa? Bukan urusan gue. Ada lagi deputi urusannya industri, urusan marketing, satu pun yang berhubungan dengan ini nggak merespons,” ucap Lourda.
Ketua Umum Indonesia Wellness Spa Professional Association (IWSPA) Yulia Himawati berharap pemerintah meninjau kembali untuk melakukan revisi aturan pajak tersebut. “Mudah-mudahan segera diproses, Badan Lengislasi DPR juga harus bekerja lagi meninjau kembali UU tersebut. Tapi memang itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama,” ujar Yulia.
Menurut Yulia, pengusaha juga kecewa dengan dimasukkannya industri spa ke dalam jenis hiburan tertentu yang harus dikenai pajak 40-75 persen. Sebenarnya dalam Permenparekraf Nomor 11 Tahun 2019 sudah mendefisikan cukup jelas mengenai usaha spa.
Dalam pasal 1 peraturan itu, kata Yulia, disebutkan bahwa usaha spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan atau minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbanhkan jiwa dan raga dengan tetap perhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Bahkan IWSPA juga sudah melaksanakan audit terhadap usaha spa sesuai dengan Permenparekraf itu. Namun, anehnya dalam UU HKPD, spa dikategorikan ke dalam jenis hiburan. “Kalau yang lain mungkin hiburan ya silahkan saja. Tetapi yang tergolong di sini adalah spa wellness, spa untuk kesehatan,” ucap dia.
Sehingga sangat aneh jika akhirnya dikategorikan sebagai jenis hiburan. “Itu yang sangat kami sesalkan dan asoisasi kami tentu tidak menghendaki hal itu,” tutur Yulia.
Selanjutnya: Alasannya, karena, para terapis spa di industri adalah terapis yang....