TEMPO.CO, Jakarta - Persoalan Agraria akibat Proyek Strategis Nasional atau PSN masih menjadi permasalahan serius yang tak bisa ditangani oleh pemerintah. Agraria akan menjadi salah satu tema debat cawapres pada 21 Januari 2024.
Sepanjang 2023, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya terjadi 42 kali letusan konflik agraria yang dipicu oleh PSN dan infrastruktur pendukungnya.
Menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, jika dikalkulasi, telah terjadi 115 letusan konflik agraria akibat PSN dalam empat tahun terakhir. Konflik-konflik tersebut terjadi atas lahan seluas total 516,41 ribu hektare. Total ada 85.554 keluarga terkena dampaknya. Masyarakat yang dianggap tak punya surat kepemilikan dianggap menempati lahan secara ilegal.
“Padahal masyarakat sudah turun-temurun menetap. Ini mengabaikan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang mengamanatkan dilakukannya pendaftaran tanah-tanah rakyat,” kata Dewi di Jakarta, Senin, 16 Januari 2023, dikutip Koran Tempo.
Selain di Rempang pada September lalu, konflik agraria juga terjadi di Wadas, Jawa Tengah, yang akan ditambang untuk memenuhi kebutuhan batu andesit pada PSN pembangunan Bendungan Bener. Ada pula letusan konflik agraria yang dipicu oleh pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah.
1. Konflik Wadas
Konflik Wadas merupakan konflik antara warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dengan Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Polri dan TNI sejak 2019. Kasus bermula ketika pemerintah berencana membuka penambangan terbuka batuan andesit di desa tersebut. Tambang ini untuk bahan baku PSN pembangunan Bendungan Bener.
Namun, menurut masyarakat setempat, penambangan batu ini akan merusak lingkungan desa. Di sisi lain, pemerintah berdalih bahwa penambangan batu andesit tersebut hanya diperuntukkan kebutuhan pembangunan bendungan. Setelah PSN rampung, belas penambangan akan direklamasi kembali
2. Konflik Petani Kendeng
Konflik Petani Kendeng terjadi pada 2016. Dalam rangka menentang pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang, dan Indocement di Pati, Jawa Tengah petani menggelar aksi cor kaki. Aksi yang disebut Aksi Petani Kendeng ini dilakukan dua kali, yakni pada 12 April 2016 dan 13 Maret 2017.
Kasus bermula pada 2014, ketika Semen Indonesia berencana untuk membangun pabrik di Rembang. Pabrik ini direncanakan memiliki kapasitas produksi sebesar 3 juta ton per tahun. Tujuannya guna mengimbangi konsumsi semen yang kian meningkat setiap tahunnya.
Namun, sebagian warga Kendeng menentang pembangunan pabrik semen tersebut. Pasalnya, pabrik akan dibangun di wilayah karst yang berfungsi untuk menyerap air. Hal itu dikhawatirkan dapat menyebabkan beberapa wilayah di Rembang mengalami kelangkaan air. Apalagi, AMDAL yang dilakukan dinilai tidak transparan.
3. Konflik Pulau Rempang
Konflik Pulau Rempang, Batam menjadi salah satu konflik agraria teranyar. Aparat kepolisian dan TNI bentrok dengan warga setempat pada 7 September 2023 lali. Kejadian itu disebabkan oleh wacana pemerintah merombak wilayah tersebut menjadi The New Engine of Indonesia’s Economic Growth. Pemerintah lalu membuat PSN bertajuk Rempang Eco City.
Warga Pulau Rempang menolak dipindah. Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak direlokasi ke Pulau Galang. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sebab itu, mereka menolak Rempang dipindahkan.
Aparat gabungan TNI dan Polri lalu memaksa masuk ke perkampungan warga. Kedatangan aparat tersebut guna memasang patok tanda batas lahan untuk proyek Rempang Eco City. Masyarakat adat menolak kedatangan mereka dan melakukan pemblokiran dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan.
Aparat bersikukuh merangsek masuk ke pemukiman warga. Dalam prosesnya, mereka bahkan menembakkan gas air mata demi memukul mundur warga. Bahkan, semburan gas air mata tersebut sampai ke arah sekolah. Hal ini membuat para guru berlarian membawa murid-murid pergi melalui pintu belakang sekolah.
Polri menyatakan gas air mata terbawa angin hingga ke sekolah. Namun pernyataan itu berbeda dengan temuan Komnas HAM. Pada Sabtu, 16 September mereka mengumumkan menemukan selongsong peluru gas air mata di atap dan di dekat pekarangan SDN 024 Galang. Temuan itu sejalan dengan kesaksian seorang warga, Bobi.
Pada Senin, 11 September 2023, ribuan masyarakat adat Melayu Kepulauan Riau menggeruduk kantor BP Batam. Mereka menyampaikan tuntutannya. Mulai dari menolak penggusuran, mendesak aparat membubarkan posko di Rempang Galang, menghentikan intimidasi kepada orang Melayu, hingga menuntut Jokowi batalkan penggusuran kampung tua Pulau Galang.
Aksi tersebut sempat menyebabkan ricuh. Massa merusak kaca-kaca dan pagar kantor BP Batam. Mereka membubarkan diri setelah ditembakkan gas air mata. Buntut dari aksi tersebut, sebanyak 43 orang warga Pulau Rempang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kericuhan saat demo penolakan pengembangan Kawasan Rempang Eco City yang terjadi pada 7 dan 11 September 2023.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | TIM TEMPO | KORAN TEMPO
Pilihan Editor: Warga Pulau Rempang: Apapun yang Terjadi Kami Menolak Relokasi