TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan kebijakan menambah subsidi pupuk sebesar Rp 14 triliun pada tahun 2024. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mengatasi kelangkaan pupuk subsidi yang terus menghantui petani. Meski dianggap sebagai langkah positif untuk mengatasi kelangkaan pupuk subsidi, Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan kritik terhadap kebijakan ini.
Ini diungkapkan Jokowi saat menghadiri acara Pembinaan Petani Jawa Tengah di Banyumas, Selasa, 2 Januari 2024. Kenaikan kuota subsidi dan penyaluran tepat waktu menjadi fokus utama dalam upaya mengatasi permasalahan kelangkaan pupuk.
Namun, kejadian serupa sering berulang setiap tahun di masa pemerintahan Presiden Jokowi, petani di lapangan masih mengalami kendala. Beberapa petani yang memiliki kuota pupuk subsidi dalam kartu tani mereka tidak dapat menebus pupuk, karena pupuk subsidi tidak tersedia di kios atau distributor.
Henry Saragih, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP-SPI), melalui keterangan resmi, menyatakan bahwa permasalahan pupuk kimia bersubsidi tidak hanya berkaitan dengan ketersediaan pupuk dan keterbatasan anggaran.
"Peningkatan anggaran memang bisa menambah kuota pupuk, tapi belum bisa menyelesaikan masalah-masalah lain yang dihadapi petani, seperti validitas data petani dan data luasan tanah pertanian yang jadi acuan penyaluran pupuk subsidi", Henry menuturkan.
Melansir dari temuan Ombudsman, hanya 60 persen petani di Indonesia yang terdata dalam database kartu tani sebagai syarat penerima subsidi pupuk. Ini menjadi dasar penyaluran bantuan dan akses program lainnya.
Sementara itu, Kementerian Pertanian (Kementan) hanya mengakui kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) sebagai lembaga petani. Organisasi petani lainnya yang menurut Mahkamah Konstitusi juga termasuk kelembagaan petani, tidak diakomodir Kementan.
Ombudsman juga mencatat bahwa tidak semua petani yang terdaftar memiliki data yang valid terkait luasan tanah pertanian dan luasan tanamnya. SPI telah mengusulkan penggunaan KTP sebagai alternatif untuk menebus pupuk subsidi dan pupuk organik guna mengatasi kerumitan administrasi dan birokrasi.
Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi petani yang terdaftar dalam Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), tidak mencakup semua petani yang berhak menerima subsidi pupuk.
Masalah lain yang dihadapi oleh petani adalah kenaikan harga pupuk yang dipicu oleh kenaikan biaya bahan baku dan situasi geopolitik. Henry Saragih menegaskan perlunya pengalihan metode pertanian dari pupuk kimia sintesis ke pertanian agroekologi. Ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi yang menyatakan pentingnya pertanian berkelanjutan dalam beberapa acara terkait pertanian.
“Terkait dengan kenaikan biaya bahan baku dan situasi geopolitik tidak bisa kita selamanya bergantung ke pupuk kimia yang diproduksi dari pabrik", Henry menegaskan. Menurut Henry, pengalihan metode pertanian yang mengandalkan pupuk kimia sintesis ke pertanian agroekologi menjadi keharusan.
SPI juga mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan pengalihan subsidi pupuk dari pabrik langsung ke petani, serta subsidi harga hasil panen petani. Sebelumnya, usulan ini pernah diajukan dalam Rapat Koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan Ombudsman RI dan diharapkan segera dilaksanakan.
Henry menuturkan,"Penting sekali untuk menimbang pengalihan subsidi pupuk dari sebelumnya ke pabrik menjadi subsidi langsung ke petani, dan juga subsidi harga hasil panen petani.”
Pilihan Editor: Prabowo-Gibran Janjikan Peningkatan Penerimaan Pajak dengan Menurunkan PPN, Bagaimana Caranya?