TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memberikan penugasan kepada Perum Bulog untuk mengimpor 2 juta ton beras untuk tahun depan. Rencana impor beras tersebut diungkapkan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi.
"Indonesia tahun depan butuh 2 juta ton. Kita coba mencari yang terbaik," Bayu menuturkan dalam agenda Ngobrol Bareng Bulog ‘Melewati 2023, Menghadapi 2024’ di Bulog Corporate University, Jakarta Selatan pada Kamis 21 Desember 2023.
Menurut Bayu, kebutuhan impor sebanyak 2 juta ton di tahun 2024 tidak hanya untuk mengatasi kekurangan cadangan, tetapi juga untuk memenuhi bantuan pangan dan mendukung Stabilisasi Pasokan Harga Pasar (SPHP) pada tahun 2024.
Bayu juga menekankan bahwa tingkat ketidakpastian masih tinggi, dan hal ini harus diatasi dengan cermat melalui pengelolaan waktu yang baik untuk menjaga stabilitas pangan. El Nino, kata Bayu, menjadi faktor tambahan yang perlu diperhatikan, terutama mengingat bulan Februari memiliki hajatan besar (pemilu) dan perayaan Imlek.
“Mudah-mudahan kita bisa melewati proses politik dengan aman sehingga tidak ada faktor geopolitik,” Bayu melanjutkan. Impor beras, menurutnya, meskipun menjadi opsi terakhir, perlu dilakukan demi menjaga stabilitas pangan. Selain itu, manajemen waktu untuk menjaga stabilitas pangan sangat krusial, termasuk pemenuhan stok dan distribusi yang efisien.
"Saat ini yang sudah di gudang maupun dalam perjalanan menuju gudang, Bulog per hari kemarin (Rabu, 20 Desember 2023) punya 1,26 juta ton. Kemudian, yang masih dalam perjalanan sekitar 494 ribu ton,” Bayu menjelaskan. Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia masih punya kontrak impor beras sekitar 500 ribu ton lagi.
Terkait asal negara impor, Bayu mengungkapkan bahwa Bulog sedang menjajaki opsi impor dari beberapa negara. Beras dari Vietnam dan Thailand melalui dua skema, yaitu Business to Business (B2B) dan Government to Government (G2G). Sementara itu, impor beras dari India hanya melalui skema G2G karena India telah mengubah kebijakan ekspornya, termasuk untuk beras, gandum, dan gula.
Bulog juga membuka opsi untuk beras dari Cina meski harganya cenderung lebih mahal. “Terus terang saja untuk beras dari Cina yang kita alami harganya masih lebih mahal, karena kita tidak biasa melakukan importasi dari Cina,” Bayu menuturkan. Keputusan ini bukan tanpa pertimbangan. Bulog perlu memastikan ketersediaan pasokan beras yang memadai, mengingat kondisi ketidakpastian yang masih tinggi.
Pilihan Editor: Jadi Ketua Dewan Pengawas Bulog, Arief Prasetyo Bakal Tekan Impor: Pindahkan Ekonominya ke RI