TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Peduli Tol Indonesia (KAMTI) meminta pemerintah untuk mengevaluasi dan membatalkan rencana implementasi sistem pembayaran jalan tol elekronik berbasis Multilane Free Flow (MLFF) dengan penerapan teknologi deteksi satelit (GNSS) oleh PT Roatex, perusahaan teknologi asal Hungaria.
Berdasarkan keterangan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, uji coba terbatas ini akan dilaksanakan pada 12 Desember mendatang. Di sisi lain, Presidium KAMTI, Sahrul RM, mengklaim penarapan sistem MLFF ini masih penuh ketidakpastian.
“Hal ini jelas merugikan masyarakat, terutama pengguna jalan tol, merusak citra Pemerintah Presiden Jokowi yang akan berakhir akhir tahun depan, juga merugikan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) sebagai pengembang dan investor jalan tol,” ujar Sahrul dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu, 10 Desember 2023.
Padahal, kata Sahrul, saat menetapkan Badan Usaha Pelaksana (BUP) Sistem MLFF, yakni PT. Roatex Indonesia Tol System (RITS), pemerintah menjanjikan bahwa sistem ini akan memudahkan masyarakat pengguna jalan tol. Selain itu, sistem ini disebut akan menjamin dan meningkatkan efisiensi penerimaan BUJT, mengurangi kemacetan di pintu tol, serta mengurang polusi dan mengefisienkan pemakaian energi.
Terkait dengan penerapan sistem ini, KAMTI menyoroti 9 aspek yang perlu penjelasan lebih lanjut dari pemerintah. Pertama, soal penundaan penerapan sistem MLFF yang telah mengalami tiga kali penundaan, yakni pada Desember 2022, 1 Juni 2023, dan 1 Desember 2023. “Kami melihat penundaan ini disebabkan oleh teknologi yang memang tidak pernah siap dan sesuai untuk diimplementasikan di Indonesia,” tuturnya.
Kedua, soal perjanjian kerja sama yang tidak konsisten. KAMTI mengkhawatirkan ada pengaruh asing yang berpotensi mengambil keputusan yang harus dilakukan oleh pemerintah. Ketiga, soal kompetensi BUP yang harus terbuka kepada publik dan masyarakat luas.
Keempat, terkait ketentuan Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). “Setahu kami, BUP ini menerapkan 100 persen modal dan manajemen dari Hungaria. Apakah ini sesuai dengan ketentuan BUP KPBU?” tanya Sahrul.
Kelima, soal kerja sama teknokogi. “Apakah pemerintah telah menetapkan skema alih teknologi, dengan melibatkan ahli-ahli dalam negeri? sehingga pada saatnya operasional, sistem ini tidak lagi tergantung kepada vedor dari Hungaria,” ujarnya.
Keenam, soal investasi Hungaria yang disebut-sebut nilainya lebih dari Rp 4 triliun. Sahrul mempertanyakan bagaimana dampak hingga skema pengembalian investasi tersebut. Ketujuh, terkait perbandingan komposisi tenaga ahli antara lokal dan asing yang ada di proyek ini. Kedelapan, soal kesiapan infrastuktur dan pihak penunjang, dan terakhir soal tingkat literasi teknologi masyarakat.
“Atas berbagai aspek yang kami pertanyakan, kami meminta Pemerintah RI, khususnya Kementerian PUPR sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas penyelenggaraan proyek ini dan disampaikan secara terbuka kepada publik,” kata Sahrul.
Sebelumnya, Menteri Basuki mengatakan, meskipun dalam prosesnya tentunya diiringi dengan berbagai tantangan, Pemerintah Indonesia tetap berkomitmen untuk menyukseskan penerapan sistem MLFF ini.
"Ini adalah transisi, seperti halnya dulu kita beralih dari transaksi cash menjadi non cash dengan tapping. Teknologinya pasti sudah siap, tantangannya bagaimana implementasinya kepada masyarakat. Tetapi kami jamin Indonesia tetap berkomitmen menyukseskan penerapan sistem MLFF ini," kata Basuki dalam keterangan resmi, 14 November 2023.