TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon menjelaskan tantangan industri asuransi jiwa di Indonesia ke depan. Salah satunya adalah masih rendahnya literasi dan inklusi asuransi jiwa meskipun tercatat meningkat berdasarkan survei yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
“Namun tugas industri asuransi jiwa untuk terus meningkatkan pemahaman dan penggunaan asuransi jiwa di tengah-tengan masyarakat itu masih cukup panjang,” ujar Budi dalam konferensi pers di Rumah AAJI, Jakarta Pusat, pada Rabu, 29 November 2023.
Tantangan lainnya, kata Budi, secara regulasi industri asuransi akan menghadapi beberapa peraturan baru. Mulai dari spin-off (pemisahan) unit usaha syariah pada 2026, implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 74 (PSAK 74) atau International Financial Report Standard 17 (IFRS 17) pada 2025, dan wacana penguatan permodalan pada 2026.
Ia juga mengatakan saat ini industri asuransi juga memiliki roadmap atau peta jalan yang diterbitkan secara resmi oleh OJK pada Oktober 2023 lalu. “Khusus untuk industri asuransi jiwa, peta jalan itu bisa dijalankan berdampingan dengan roadmap industri asuransi jiwa yang sudah diterbitkan lebih dulu,” kata Budi.
Selain itu, Indonesia juga memiliki bonus demografi penduduk usia produktif pada 2024-2025. Hal itu, menurut dia, menjadi peluang bagi industri asuransi jiwa untuk semakin memperluas perlindungan asuransi bagi masyarakat.
Sejalan dengan itu AAJI berharap industri memperluas perlindungan asuransi. “Didukung kemajuan teknologi digital yang sekarang masif penggunaanya di Indonesia,” tutur dia.
Pilihan Editor: AAJI Catat Jumlah Tertanggung Asuransi Jiwa 2023 Mencapai 94,18 Juta Orang