TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira merespons pernyataan calon presiden Ganjar Pranowo soal transisi energi. Ganjar menyataka transisi dari energi fosil menuju energi hijau menuju energi baru dan terbarukan (EBT) setidaknya membutuhkan dana investasi Rp 1.300 triliun.
“Evaluasi dulu semua subsidi dan insentif APBN untuk sektor energi fosil. Alihkan bertahap ke energi terbarukan, ini butuh keberanian politik,” ujar Bhima ketika dihubungi oleh Tempo, Senin, 27 November 2023.
Menurutnya, masalah pendanaan sebenarnya bisa didorong lewat kebijakan pemerintah dan kerja sama internasional. Bhima mengatakan, untuk mendorong transisi energi hijau di level komunitas, hal tersebut bisa dilakukan melalui alokasi program Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus EBT sebesar 30 persen dari total program.
“Revisi taksonomi hijau yang tidak memberikan ruang bagi peningkatan kredit ke sektor ekstraktif juga bisa membantu bank fokus menambah porsi kredit ke sektor EBT,” tuturnya.
Lebih lanjut, ekonom itu menjelaskan sejumlah langkah yang bisa dilakukan untuk melakukan transisi energi hijau. Salah satunya, kata Bhima, melalui realokasi dana desa. “Misalnya 20 persen dari total anggaran dana desa yang sebesar Rp 70 triliun per tahun bisa difokuskan untuk pembangkit skala mikro di desa,” ujar dia.
Sementara dari sisi kerjasama internasional, terdapat program Green Belt Road Initiative yang nilai komitmetnya mencapai US$ 56 miliar atau sekitar Rp 873,6 triliun.
Dia juga menyebut skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) perlu diarahkan untuk memberi dana hibah lebih besar. Sebagai informasi, komitmen pendanaan JETP pada awalnya bernilai US$ 20 miliar, namun kini sudah bertambah menjadi US$ 21,6 miliar.
“Tantangan yang sering mengganjal dari sisi pendanaan adalah berbagai regulasi di level kementerian dan arah reformasi PLN yang seringkali inkonsisten dengan percepatan bauran EBT yang lebih besar,” ucap Bhima.
Pilihan Editor: Sikap Capres Soal IKN: Anies Tolak, Prabowo Lanjut