TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah kembali mengusulkan skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET). Isu ini menjadi pro-kontra karena dianggap merugikan negara. Adapun skema power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut skema power wheeling bakal tercantum dalam Pasal 29A dan 47A, yang berkaitan dengan ketentuan pemenuhan pasokan energi baru terbarukan. "Jadi, ini bentuk rumusan kerja sama jaringan atau open acces," tutur Arifin dalam rapat kerja di Komisi VII DPR RI, Senin, 20 November 2023.
Arifin mengatakan, rumusan ketentuan open access ini mengatur soal keharusan wilayah usaha memenuhi kebutuhan konsumen atas listrik yang bersumber dari EBET. Mekanisme jika wilayah usaha tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen, kata Arifin, konsumen dapat diberikan pasokan listrik melalui point to point kerja sama pemanfaatan sewa pembangkit atau perjanjian jual beli listrik dengan pemegang wilayah usaha lainnya.
"Mekanisme itu dilakukan melalui usaha transmisi dan atau distribusi, atau bahasa Inggrisnya power wheeling," ujar Arifin.
Untuk melaksanakan usaha transmisi dan atau distribusi tersebut, lanjut Arifin, wajib dibuka open acces penyaluran listrik dari sumber EBET dengan mengenakan biaya yang diatur pemerintah. "Dengan syarat tetap menjaga dan memperhatikan keandalan sistem, kualitas pelayanan pelanggan, dan keekonomian dari pemegang izin usaha transisi dan distribusi tenaga listrik," kata dia.
Lebih lanjut, Arifin menyampaikan usulan soal rumusan pemenuhan kebutuhan listrik EBET berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. Poin pertama, untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi baru, energi terbarukan, pemegang wilayah usaha ketenagalistrikan harus memenuhi kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari energi baru terbarukan.
Kedua, pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari EBET, wajib dilaksanakan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik yang memprioritaskan energi baru, energi terbarukan dan dapat dilakukan dengan pemanfaatan bersama jaringan transmisi atau jaringan distribusi melalui mekanisme sewa jaringan. "Pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari energi baru, energi terbarukan, bagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dalam peraturan pemerintah," ujar Arifin.
Sebelumnya, pemerintah sempat menghapus isu power wheeling dari RUU EBET. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi pun merespons positif karena menurutnya skema power wheeling melanggar UUD 1945, UU Ketenagalistrikan, dan keputusan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Fahmy, penerapan skema power wheeling berpotensi menambah beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan merugikan negara. Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan nonorganik hingga 50 persen. Penurunan pelanggan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga popkok penyediaan (HPP) listrik.
“Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian,” ujar Fahmy melalui keterangan tertulis, Minggu, 22 Januari 2023.
Lebih lanjut, Fahmy menilai power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar. Sebab skema ini akan membuat tarif listrik bergantung demand and supply. “Pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan.”
Pilihan Editor: Jalankan Instruksi Jokowi, Bulog Perpanjang Bantuan Beras hingga Juni 2024