TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Civil Society Organization (CSO) atau Masyarakat Sipil menilai rancangan rencana investasi dan kebijakan komprehensif (comprehensive investment and policy plan atau CIPP) dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) dinilai masih belum serius dalam mendukung transisi energi yang berkeadilan.
Minimnya target pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam dokumen ini berpotensi memperlambat langkah reformasi sistem energi Indonesia. Bahkan, Abdurrahman Arum dari Transisi Bersih mempertanyakan PLTU captive tidak dimasukkan dalam dokumen tersebut.
“Dalam dokumen CIPP, PLTU captive tidak dimasukkan. Padahal, pertumbuhannya sangat tinggi dari 1,3 GW pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023, dan masih terus bertambah,” ujar Abdurrahman secara daring dalam konferensi pers di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Rabu, 15 November 2023.
Hal ini, kata dia, dapat menjadi penghalang besar yang dapat menggagalkan target nol emisi Indonesia, seperti sebelumnya. “Meski target CIPP tercapai 100 persen, target nol emisi Indonesia tidak akan pernah tercapai lantaran PLTU captive akan tetap hasilkan emisi dalam jumlah besar,” tuturnya.
Adapun pihaknya menilai, Indonesia pernah melakukan hal yang serupa. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diterbitkan pada 2014, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan 23 persen pada 2023 dan 31 persen pada 2050.
“Namun pada saat yang sama, Indonesia juga memulai Program 35 Gigawatt (GW) yang mayoritas adalah PLTU batu bara,” ujarnya. Penambahan PLTU ini pada akhirnya justru menggerus ruang pengembangan energi terbarukan, sehingga target bauran energi hijau tidak tercapai.
Sementara itu, Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengatakan dokumen CIPP masih kompromistis dan sangat jauh dari trayektori untuk menahan kenaikan suhu pada 1,5 derajat Celcius. Pensiun dini PLTU yang hanya 1,6 GW dan PLTU captive yang tidak dihitung dalam dokumen CIPP, akan jadi ganjalan skenario menuju net zero emission.
“Belum lagi kalau kita bicara tentang rencana pemerintah dan sektor migas untuk menaikkan produksi minyak bumi menjadi 1 juta barel per hari (bph) dan gas bumi menjadi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030,” kata Leonard.
Leonard juga menyoroti berbagai solusi palsu berbasis batu bara yang difasilitasi oleh RUU EBET. “Semuanya itu berpotensi melumpuhkan skenario transisi energi Indonesia secara keseluruhan. Saya khawatir JETP bisa berakhir menjadi sebuah boutique project saja, tidak signifikan atau bahkan menjadi kosmetik dalam kompleksitas transisi energi Indonesia,” katanya.
Pilihan Editor: Dokumen Rencana Investasi JETP Resmi Dibuka, Publik Diminta Beri Masukan