Sebenarnya rasio pajak Banglades, Ronny berujar, lebih rendah dibanding Indonesia, sekitar 8 persen. Sempat mencapai 9,6 persen di tahun 2015, lalu terus turun. Namun, dalam tiga tahun terakhir, National Board of Revenue berhasil menggenjot rasio pajak secara signifikan.
“Pada saat pandemi Covid-19, tax ratio Banglades sempat turun ke 6,9 persen di tahun 2020. Dalam dua tahun, National Board of Revenue berhasil menaikannya menjadi 8 persen,” tutur Ronny.
Selain itu, negara maju juga memiliki kelembagaan pajak yang terpisah seperti itu. Amerika Serikat misalnya, dengan membentuk Internal Revenue Service (IRS), Singapura dengan Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), Malaysia dengan Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN), serta Australia dengan Australian Tax Office (ATO).
"Jadi soal urgen atau tidak urgen, menurut saya bukan itu intinya. Intinya adalah bahwa menaikan ratio pajak adalah urgen sifatnya," tutur Ronny. "Agar pemasukan negara meningkat dan pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk berkebijakan."
Artinya, dia melanjutkan, dari sisi target dan tujuan, keberadaan Badan Penerimaan Negara tersebut layak dipertimbangkan. Karena seberapun besar dan luasnya jangkauan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, sepak terjangnya sudah bisa disaksikan, yakni tidak mampu menaikan rasio pajak. Sehingga, menurut Ronny, ide dan wacana tersebut tidak salah dimunculkan, karena memang ada sebabnya.
Adapun nanti akan ada tumpang tindih wewenang atau rebutan peran dan lahan pekerjaan, itu perkara teknis. Yang jelas, Ronny berujar, ada kesadaran penuh dari kandidat Capres dan Cawapres bahwa penerimaan pajak kita belum proporsional dibanding dengan PDB Indonesia.
Selanjutnya: "Bagi saya, that's positive progress, kita harus...."