TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan atau Kemenkeu mengatakan anggaran subsidi dan kompensasi untuk listrik dan bahan bakar minyak (BBM) berpotensi jebol. Apa sebabnya?
"Jadi kenaikan subsidi kompensasi itu terutama karena kurs dan konsumsi. Itu yang harus kita waspadai," kata Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata dalam konferensi pers APBN Kita pada Rabu, 25 Oktober 2023 di Jakarta Pusat.
Dia menjelaskan asumsi di APBN 2023 adalah Rp 14.800 per dolar Amerika Serikat (AS). Sementara nilai tukar rupiah terus melemah, hampir menembus Rp 16.000 per dolar AS.
Pada penutupan perdagangan Kamis, 26 Oktober 2023, rupiah melemah sebesar 50 poin atau 0,31 persen. Ini menjadi Rp 15.920 per dolar AS dari penutupan sebelumnya Rp 15.870 per dolar Amerika.
Sementara kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis juga melemah ke posisi Rp 15.933, dari sebelumnya Rp 15.871 per dolar Amerika.
"Kurs mungkin akan sedikit di atas Rp 15.000-yang kita pakai di APBN kemarin Rp 14.800, kemungkinan akan di atas itu," ujar Isa.
Sedangkan peningkatan harga minyak, menurut Isa, tidak terlalu mempengaruhi kenaikan anggaran subsidi kompensasi energi. Isa mencatat, sampai September 2023 posisi Indonesia Crude Price atau ICP adalah US$ 77,7 per barel secara year to date. Ini lebih rendah dari asumsi ICP di APBN yang sebesar US$ 90 per barel.
"Jadi kalau ini masih up and down, masih di sekitar yang enggak terlalu tinggi, mudah-mudahan tidak loncat dari yang kami anggarkan di dalam APBN kita," tutur Isa.
Lebih jauh, Isa mencatat konsumsi listrik dan BBM menjadi faktor penting dan berpotensi membebani anggaran subsidi dan kompensasi energi. "Konsumsi BBM, konsumsi listrik kalau kita tidak mengendalikan dengan baik, maka akan ada potensi (anggaran) naik," tutur dia.
AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA
Pilihan Editor: Kemenkeu Gelontorkan Rp 7,52 Triliun untuk BLT El Nino