Itu pun, Aditya menjelaskan, harus melalui proses. Misalnya untuk tahun pertama kerja samanya 70:30, kemudian pengembangan berikutnya 60:60, berikutnya lagi 50:50.
Karena bagi Indonesia sendiri, baik PT INKA, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), memerlukan waktu yang panjang jika ingin melakukan lompatan teknologi seperti Cina juga. Lembaga tersebut sedang mengembangkan rancang bangun dan prototipe Kereta Cepat Jakarta-Surabaya atau disebut Kereta Cepat Merah Putih.
Sehingga, menurut Aditya, akan lebih efektif jika Indonesia memaksa pihak Cina maupun Jepang untuk mengembangkan industrinya di Indonesia. “Bekerja sama dengan industri dalam negeri, supaya alih teknologinya bisa lebih cepat,” ucap dia.
Namun, dia berujar, pengembangan yang dilakukan PT INKA, Aditya itu tetap harus jalan. Karena Indonesia juga masih dalam tahapan di kereta rel diesel dan kereta rel listrik. Aditya menyarankan lebih baik PT INKA fokus pada kedua jenis kereta itu.
“Kalau kita kan maksudnya perlu realistis juga, perlu riset untuk ke arah lompatan teknologi. Tapi kalau untuk menuju ke komersial secara permanen itu juga perlu waktu,” tutur Aditya. “Nggak apa-apa mulai dikembangkan riset dan sumber daya manusia untuk kereta cepat lokal, inisiatif karya anak bangsa tetap harus jalan.”
Saat ini, Kolaborasi Departemen Desain Produk Industri ITS, BRIN, PT INKA dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) berhasil mengembangkan rancang bangun dan prototipe kereta cepat untuk rute Jakarta-Surabaya atau Kereta Cepat Merah Putih. Ketua Tim Peneliti Rancang Bangun dan Prototyping Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Agus Windharto menjelaskan pengembangan itu dimulai pada 2019.
Pengembangan Kereta Cepat Merah Putih