TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengklaim sebagian besar warga kampung-kampung tua di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, setuju digusur dan dipindah ke Tanjung Banun. Hal ini seiring rencana pemerintah mengembangkan Pulau Rempang menjadi Rempang Eco City. Bahkan, Bahlil mengklaim di Kampung Pasir Panjang sebanyak 70 persen masyarakatnya ingin direlokasi.
“Sekarang, ada dari 900 KK (kepala keluarga) kurang lebih, sudah 341 KK yang sudah secara sukarela mau melakukan pergeseran," kata Bahlil ketika mengunjungi Pulau Rempang pada Jumat, 6 Oktober 2023, dikutip Tempo dari keterangan tertulis.
Kendati begitu, Bahlil tidak membantah jika masih ada masyarakat yang menolak dipindahkan ke Tanjung Banon. Namun, kata dia, itu akan menjadi tugas pemerintah untuk berkomunikasi lebih baik sehingga dapat meyakinkan masyarakat.
"Dengan komunikasi yang baik, masyarakat akan mengerti bahwa pengembangan investasi semata-mata untuk keuntungan masyarakat sekitar dan ekonomi nasional," kata Bahlil. “Tugas kami adalah meyakinkan kepada mereka. Yang namanya menggeser orang, memindahkan dari rumah A ke rumah B, itu pasti butuh proses waktu."
Pemerintah saat ini memang sedang mengupayakan relokasi warga Pulau Rempang dari area 2.000 hektare yang bakal dikembangkan pada investasi tahap pertama Rempang Eco City. Lahan tersebut akan digunakan investor China, Xinyi Group, yang bakal menggelontorkan investasi sekitar Rp 175 triliun. Xinyi Group disebut-sebut bakal membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa.
Sebagai bentuk kompensasi bagi masyarakat yang digusur dari tempat tinggalnya, Bahlil menjanjikan kompensasi berupa tanah 500 meter persegi dan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta beserta sertifikat hak milik. Kemudian, uang saku senilai Rp 1,2 juta per kepala dan uang sewa rumah sebesar Rp 1,2 juta selama masa tunggu konstruksi hunian baru di Tanjung Banun.
Sebelumnya, rencana pembangunan Rempang Eco City ditolak warga dari belasan kampung tua di Pulau Rempang. Warga menolak karena pembangunan tersebut membuat mereka tergusur dari tempat kelahiran. Aparat gabungan sempat memaksa warga untuk pindah sehingga terjadi bentrok.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mengindikasikan terjadinya dugaan pelanggaran HAM dalam serangkaian insiden bentrokan di Pulau Rempang, awal September lalu. Komnas HAM juga mengingatkan terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi, negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak baik tindakan maupun kebijakan yang diambil baik tingkat lokal maupun nasional.
“Kebijakan negara tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif dan tidak proporsional negara, tidak boleh melakukan relokasi paksa atau forced evictions yang merupakan bentuk pelanggaran HAM,” kata Koordinator Subkomisi Penegakan Komnas HAM Uli Parulian Sihombing dalam konferensi pers di Komnas HAM pada Jumat, 22 Agustus 2023.
Komnas HAM juga menerjunkan tim untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM di kawasan Rempang 10 hari pasca terjadinya bentrokan. Dalam investigasinya, Komnas HAM menemukan beberapa selongsong peluru gas air mata di atap dan di dekat pekarangan Sekolah Dasar Negeri 024 Galang, salah satu lokasi yang terkena dampak tembakan gas air mata saat bentrokan antara aparat dan masyarakat di kawasan Jembatan IV Barelang.
Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro mengatakan janji kesejahteraan masyarakat Pulau Rempang lebih baik dengan adanya Rempang Eco City belum bisa dilihat secara konkret. Salah satunya soal penyerapan tenaga kerja. Johanes menuturkan, mayoritas masyarakat Pulau Rempang berprofesi sebagai nelayan. Karena itu, menurutnya, tidak semudah itu mereka bisa terlibat dan dipekerjakan dalam industri proyek Rempang Eco City.
“Saya pun nggak bisa menjawab bahwa itu menciptakan sekian lapangan pekerjaan. Pertanyaannya juga, siapa yang nanti bekerja di situ?” kata Johanes ketika ditemui di Kantor Ombudsman pada Rabu, 27 September 2023.
Tak Cuma jaminan kesejahteraan yang belum konkret, Johanes menyoroti upaya relokasi warga demi terealisasinya proyek strategis nasional ini. Menurut Johanes, memindahkan masyarakat dari tempat tinggal dan kehidupan yang sudah dijalani puluhan tahun bukan perkara mudah dan sederhana. Sebab, hal itu sama saja dengan mencabut keberadaan habitat masyarakat yang sudah turun-temurun.
TIM TEMPO
Pilihan Editor: Kunjungi Pulau Rempang, Bahlil Lahadalia Didemo Warga yang Menolak Pergeseran