TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economi and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira merespons rencana pembangunan proyek kereta ringan atau light rail transit (LRT) di Bali. Kabarnya, pembangunannya akan menggunakan creative financing (pembiayaan kreatif) dengan mengimpun passenger service charge atau PSC—biaya layanan penumpang pesawat.
“Ide pembiayaan kreatif dengan PSC bandara cukup bagus ya apalagi Bali memang tujuan wisata mancanegara,” ujar Bhima saat dihubungi pada Rabu, 27 September 2023.
Dia menjelaskan keuntungan dari menggunakan pembiayaan kreatif pada proyek LRT Bali. Salah satunya beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Pemerintah Provinsi Bali bisa berkurang.
Adapun pembiayaan kreatif lainnya yang memungkinkan, kata Bhima, adalah penerbitan debt for nature swap, di mana LRT bisa menurunkan emisi karbon sehingga punya nilai menjaga lingkungan Bali.
“Debt for nature swap juga berguna turunkan beban utang pemerintah. Opsi lainnya adalah penerbitan Blue atau Green bond dengan bunga yang rendah,” tutur Bhima.
Sementara Pengamat Transportasi Perkotaan dari Universitas Lampung Aleksander Purba menjelaskan soal pembiayaan proyek LRT Bali idealnya sumbernya berasal dari pemerintah pusat dan daerah Bali. Atau, dia berujar, menawarkan kepada investor seperti jalan tol. “Dengan skema built operation and transfer (BOT) dengan masa konsesi tertentu,” ucap Aleksander.
Sebelumnya, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN atau Bappenas Ervan Maksum menjelaskan soal rencana pembiayaan dari proyek tersebut. Hal itu diungkap dalam acara diskusi bertajuk Strategi Green Financing Sektor Transportasi untuk Daya Saing Perkeretaapian Berkeadilan pekan lalu.
“Bagaimana untuk membangun kereta ini? Apakah dari pusat? Apakah dari loan (pinjaman)? Kalau kalau executive agency-nya dari pusat nanti dari pagunya Kementerian Perhubungan. Kita harus mencari creative financing (pendanaan kreatif),” kata dia.