TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) memprediksi akan terjadi penurunan permintaan batu bara di Indonesia setelah 2030. Bahkan, penurunannya diperkirakan bisa mencapai 15-20 persen.
“IESR memperkirakan bahwa permintaan batu bara domestik akan mengalami puncak mencapai puncaknya pada tahun 2030 dan setelah itu akan turun secara cepat” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam webinar “Sunset PLTU dan Industri Batubara: Meninjau Arah & Dampak Multisektoral dalam Transisi Energi Berkeadilan” di Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu, 27 September 2023.
Fabby menjelaskan, hal ini didasarkan pada adanya ketentuan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengambangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
“Pasal 3 dinyatakan bahwa pemerintah tidak lagi mengizinkan pembangunan PLTU baru selain yang sudah direncanakan. Ini PLTU dimana, PLTU yang dimiliki oleh PLN,” jelasnya.
Ia merinci, berdasarkan RUPTL PLN 2021-2030, ada 13,6 gigawatt PLTU yang sudah direncanakan untuk dibangun.
Meski demikian, tidak dapat dipastikan jumlah tersebut dapat direalisasikan pembangunannya. Pasalnya, kata Fabby, beberapa PLTU tersebut dimiliki oleh investor asing dari China yang awalnya masih berharap ada pendanaan dari China.
Diketahui, sejak Oktober 2019 pemerintah China tidak lagi mendanai PLTU baru di luar negaranya.
Selain itu, hal lain yang mempengaruhi penurunan permintaan batu bara domestik adalah adanya tren transisi energi menuju energi terbarukan.
Fabby menambahkan, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini juga sedang menyusun peta Jalan pengaturan operasi PLTU yang di dalamnya akan diatur mengenai bagaimana pengakhiran seluruh PLTU di Indonesia.
"Intinya, di Indonesia konsumsi batu bara domestik kita setelah tahun 2030 akan berkurang. Seberapa cepat penurunan itu masih banyak faktor yang mempengaruhi, estimasi IESR bisa mencapai 15-20 persen setelah 2030," ungkap Fabby.