Dalam analisisnya, Satrio juga mengatakan jika tersebut beroperasi, maka ada jutaan liter air yang digunakan setiap hari. "Ini akan berkaitan dengan kondisi geografis Pulau Rempang yang merupakan pulau kecil, rentan kalau penggunaan air berlebihan," ujarnya.
Kemudian, soal pembuangan limbah cair dan zat berbahaya. Apalagi, menurut dia, ada catatan pencemaran limbah cair dalam operasi Xinyi di Kanada. Ia pun khawatir hal itu bisa mengancam Pulau Rempang. "Beberapa komponen limbah itu dikhawatirkan merusak kehidupan aquatik di sungai atau laut," tutur Satrio.
Belum lagi soal kebutuhan pasok energi yang besar. Jika pada akhirnya Xinyi mennggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, maka sama saja tidak ramah lingkungan. Padahal, Xinyi akan memproduksi solar panel.
"Dalam ruang lingkup yang sangat dekat dengan masyarakat, abu dari cerobong asap pabrik yang memproduksi kaca ataupun PLTU, sangat dekat dengan permukiman warga," kata Satrio.
Terakhir, soal ancaman degradasi lingkungan karena potensi eksploitasi pasir sebagai bahan baku dasar produksi. Apalagi kawasan Kepulauan Riau, menurut Satrio, terkenal dengan produksi pasirnya. Hal itu pun akan menjadi opsi bagi Xinyi Group.
"Mereka merasa tidak perlu ambil material itu dari tempat jauh. Akhirnya pilih Rempang sebagai opsi menguntungkan," ujar dia.
Pilihan editor: Konflik Pecah di Pulau Rempang, Bahlil Kembali Singgung Ada Pihak Asing Tak Ingin Kepulauan Riau Maju