TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN atau Bappenas Ervan Maksum menjelaskan pembangunan kereta rel ringan alias light rail transit atau LRT Bali membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) hanya Rp 3,5 triliun saja atau sekitar sepertigapuluh DKI Jakarta.
Hal itu, kata Ervan, membuat pemerintah daerah tidak mampu untuk menggelar proyek kereta layang itu. “Bagaimana untuk membangun kereta ini? Apakah dari pusat? Apakah dari loan (pinjaman)? Kalau kalau executive agency-nya dari pusat nanti dari pagunya Kementerian Perhubungan. Kita harus mencari creative financing (pendanaan kreatif),” ujar dia dikutip dari akun YouTube Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada bernama Pustralugm pada Senin, 25 September 2023.
Dia juga menjelaskan bahwa pembangunan itu bisa memanfaatkan green financing (pendanaan hijau). LRT Bali ini untuk pariwisata dan bisa membuat kualitas udara menjadi lebih baik, karena masyarakat akan beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. “Tapi kita coba dengan creative finance.”
Namun, di Bali ada masalah besar, di mana bangunan tidak boleh lebih tinggi daripada pohon kelapa. Sehingga satu-satunya jalan adalah LRT Bali harus dibangun di bawah tanah, dan itu membutuhkan dana yang bisa tiga kali lebih besar daripada membangun di atas.
“Kita total saja misal dari Bandara Ngurah Rai itu Rp 5 triliun, karena lewat bawah mahal sekali padahal cuma sekitar 4,5-4,9 kilometeran. Bagaimana cara pembiayaannya? Ini tidak bisa hanya stand alone dari DJKA atau Kemenhub, tapi dari semuanya, dari BUMN,” kata dia.
Ervan juga mengaku sudah berdiskusi dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi soal sumber dana yang berasal dari passanger service charge atau PSC (biaya layanan penumpang), seperti toilet dan lainnya. Karena, dalam satu hari Bandara Ngurah Rai bisa kedatangan hingga 58 ribu orang.
Otoritas pemberian PSC nantinya akan diatur oleh Kementerian Perhubungan