TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan ada perubahan struktur ekspor nonmigas Indonesia ke Cina. Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan dalam dua tahun terakhir, nikel dan barang daripadanya (kelompok HS75) mulai masuk dalam lima besar ekspor nonmigas Indonesia ke Cina.
Ia menjelaskan pada periode 2018 hingga Agustus 2023 komoditas bahan bakar mineral (HS27) yang pada tahun-tahun sebelumnya mendominasi ekspor Indonesia ke Cina. Namun dalam dua tahun terakhir telah digeser komoditas ekspor besi dan baja (HS72).
"Hal ini tentunya seiring dengan hilirisasi dan pembangunan smelter pengolahan bijih nikel yang sejak 2022," kata Amalia dalam konferensi pers secara virtual melalui YouTube BPS, Jumat, 15 September 2023.
BPS mencatat pada 2022 ekspor komoditas nikel dan barang daripadanya ke Cina mencapai 7,01 persen. Komoditas ini menggeser ekspor bijih logam, terak, dan abu yang pada 2021 mencapai 3,68 persen.
Pada Januari hingga Agustus 2023 angka ekspor komoditas nikel dan barang daripadanya ke Cina semakin meningkat menjadi 8,22 persen. Porsi komoditas bijih logam, terak, dan abu (HS26) pun menurun bahkan tidak lagi masuk dalam lima besar.
Adapun hilirisasi nikel mendapatkan sejumlah kritik, salah satunya dari ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri. Faisal menilai mayoritas keuntungan atas kebijakan hilirisasi bukan dirasakan oleh Indonesia melainkan mengalir ke Cina.
Ia mengatakan keuntungan yang dirasakan Indonesia atas regulasi tersebut tak kurang dari 10 persen. "90 persennya lari ke China," kata dia dalam seminar yang dilaksanakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta Pusat, Selasa, 8 Agustus 2023.
Faisal menjelaskan 95 persen bijih nikel di Indonesia digunakan untuk perusahaan-perusahaan di Cina. Pada awalnya bijih nikel dibanderol dengan harga US$ 34 oleh pemerintah Indonesia. Padahal, menurut Faisal Basri, di Shanghai bijih nikel dijual dengan harga 80 dolar.
Apabila hilirisasi yang diterapkan sekadar mengolah bijih nikel menjadi NPI atau feronikel, kata Faisal Basri, sebagian besar keuntungannya akan tetap mengalir ke negeri Tirai Bambu. Karena itu, ia menilai kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia nyatanya hanya mendukung industrialisasi di Cina.
RIANI SANUSI PUTRI