TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki Eddy Martono mengaku khawatir isu lahan sawit di kawasan hutan akan berdampak pada iklim investasi di industri ini. Hal itu lantaran informasi yang beredar memperkuat deforestasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terdapat 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan. Namun, Gapki menilai hal tersebut tidak benar karena sebagian tanah sudah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Baca Juga:
"Ketidakpastian sikap pemerintah terhadap HGU dan SHM di tengah maraknya konflik perusahaan dan masyarskat dikhawatirkan dapat berdampak pada iklim investasi industri kelapa sawit," kata Eddy saat ditemui di kawasan Bandung Barat, Rabu, 23 Agustus 2023.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan saat ini telah dikeluarkan 13 Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyebutkan ada 2.321 unit usaha dengan luasan 1.907 ribu hektar yang diidentifikasikan sebagai Kawasan hutan. Pemerintah berencana memutikan lahan sawit di kawasan hutan tersebut berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja Pasal 110A bagi perusahaan yang telah memiliki perizinan.
Sedangkan perusahaan yang tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan dan tidak sesuai dengan tata ruang akan mengikuti penyelesaian pasal 110B. Perusahaan tersebut juga diwajibkan membayar denda dan hanya boleh beroperasi dalam satu siklus saja.
Menurut dia, seharusnya tidak ada persoalan bagi perusahaan yang sudah memiliki HGU dan SHM. Gapki sendiri mengaku masih memonitoring berapa luas lahan sawit milik anggotanya di kawasan hutan. Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, jumlah perusahaan sawit di Indonesia mencapai 2.056 perusahaan. Sementara anggota Gapki saat ini berjumlah 731 perusahaan.
Di sisi lain, ia menilai persoalan lahan sawit di kawasan hutan berpotensi menghambat kinerja dan peran penting industri kelapa sawit Indonesia ke depan. Terlebih, menurutnya, sektor sawit tetap memberikan peran yang sangat penting terutama dalam penerimaan devisa negara.
Dia menyebut pada 2022, industri kelapa sawit menyumbang devisa sebesar US$ 39,07 miliar atau sekitar Rp 600 triliun. Menurut Eddy, angka tersebut merupakan pencapaian ekspor tertinggi kelapa sawit sepanjang sejarah.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menilai lahan sawit di kawasan hutan telah memberikan kerugian seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, juga harus ditanggung oleh rakyat dan negara. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian mengatakan denda dan pajak atas kebijakan pengampunan lahan sawit ilegal itu tidak sebanding dengan kerugian yang didapat.
Dengan demikian, Uli menegaskan pemerintah harus melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi yang sekian lama telah meraup keuntungan dari hasil kejahatan. Seharusnya, kata Uli, pemerintah membuat regulasi mekanisme tagihan tanggung gugat ke korporasi. Sebab dibalik aktivitas illegal selama belasan tahun ini, terindikasi adanya korupsi dan pencucian uang.
Jika pemerintah tidak berani melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi yang telah melakukan kejahatan kehutanan, Walhi menilai sudah seharusnya dilakukan blacklist terhadap korporasi ini. Sehingga, perusahaan itu tidak lagi diberikan izin dan diberikan perpanjangan izin.
Pilihan Editor: Luhut Minta Perusahaan Sawit Lapor Dokumen HGU, Gapki: Kami 100 Persen Sudah Kirim