TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri kembali menyoroti kebijakan hilirisasi nikel di Tanah Air. Sebelumnya ia menyebut lebih dari 90 persen keuntungan dari kebijakan tersebut justru mengalir ke Cina. Namun, belakangan kritik tersebut dianggap berpotensi menimbulkan sentimen rasial. Lewat website pribadinya, faisalbasri.com, ia menepis anggapan mengenai adanya sentimen rasial dalam kritik yang dia lontarkan.
"Sebelumnya saya menyebut Cina, amat jelas bahwa yang dimaksud adalah Cina sebagai entitas negara. Jadi tidak ada terkandung sentimen ras sama sekali," ucap Faisal, Sabtu, 19 Agustus 2023.
Faisal Basri mengatakan Cina dalam obyek kritiknya bukan warga Indonesia yang beretnis Tionghoa. Faisal pun tak menampik banyak pengelola tambang bijih nikel kebetulan etnis Tionghoa. Bahkan ia mengaku bersahabat dengan beberapa pengelola tambang tersebut.
Di sisi lain, Faisal sudah sejak lama menjadi salah seorang tim pakar di organisasi INTI (Indonesia Tionghoa). Ia berharap fakta tersebut memupus kekhawatiran Yustinus Prastowo, bahwa sebutan Cina bisa menyulut sentimen rasial.
Ia menjelaskan kehadiran smelter nikel tidak berada dalam ruang hampa. Oleh karena itu, tidak cukup menganalisisnya secara teknis ekonomi atau teknis bisnis. Masalah ini pun tidak hanya sebatas lingkup nasional, melainkan juga menyangkut dinamika geopolitik dan geoekonomi global.
Sebab, kebijakan ini melibatkan berbagai negara dan lembaga internasional. Dengan demikian, Faisal menilai penggunaan pendekatan ekonomi politik akan lebih tajam untuk membedah keberadaan smelter nikel di Indonesia. "Kepentingan nasional yang hakiki menjadi acuan," kata Faisal Basri.
Sebagai negara berdaulat, tuturnya, Indonesia tentu tidak sudi diintervensi oleh pihak luar. Namun, ia menilai masyarakat harus menentang nasionalisme sebagai kedok untuk membungkus kepentingan pribadi (vested interest) atau kepentingan golongan atau kelompok tertentu.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo alias Jokowi mengklaim bahwa Indonesia mendapatkan keuntungan besar atas kebijakan hilirisasi. Jokowi menyebut nilai ekspor yang melonjak tajam dari Rp 17 triliun menjadi Rp 510 triliun.
Namun, menurut Faisal, nilai keuntungan hilirisasi nikel yang disampaikan Jokowi tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Ia pun merujuk data 2014 yang menunjukan nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 hanya Rp1 triliun.
Angka tersebut didapat dari ekspor senilai US$ 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per US$. Karena itu ia mempertanyakan dari mana angka Rp 510 triliun yang disampaikan Jokowi.
Sedangkan berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja dengan kode HS 72 yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$ 27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja setara dengan Rp 413,9 triliun.
Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Jokowi dan hitungnya, Faisal Basri tak menampik ada lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat. Tetapi, ia menegaskan uang hasil ekspor itu sebagian besar tidak mengalir ke Indonesia.
Hal itu mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolahan bijih nikel 100 persen dimiliki oleh Cina dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Karena kondisi tersebut, perusahaan Cina berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
"Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel," ujar Faisal.
Pilihan Editor: Pemerintah Tak Kunjung Bayar Utang, Pengusaha Ancam Hentikan Pasokan Minyak Goreng