Adapun perintah negara kepada peretail untuk memberikan subsidi selisih harga minyak goreng kala itu termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 dan 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana Untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pengusaha retail sepakat memenuhi penugasan itu karena pemerintah berjanji akan mengganti selisih harga tersebut dari uang Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun utang tersebut tak kunjung dibayar lantaran Kemendag telah mencabut Permendag Nomor 3 Tahun 2022 dan menggantinya dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Garfa Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
"Kami tidak akan berhenti dan menyerah serta tidak takut atau mundur dalam memperjuangkan “HAK” Rafaksi kami,” kata Roy.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim mengatakan pemerintah tengah mendalami kasus ini. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun telah selesai mengaudit soal utang Rp 344 miliar. Sayangnya, Isy enggan membeberkan hasil audit tersebut.
Ia mengatakan ada perbedaan jumlah besaran utang yang disebutkan oleh pihak pengusaha dan hasil verifikasi surveyor independen, Sucofindo. Alhasil, pemerintah meminta BPKP untuk mengaudit utang subsidi minyak goreng ini, sehingga Kemendag akan memberikan keputusan sesuai dengan hasil legal opinion (LO) dari BPKP.
Pada Juli lalu, Isy mengaku telah menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Kemenkopolhukam Mahfud MD untuk membahas soal utang rafaksi minyak goreng ini ini. Rencananya, pemerintah akan mengadakan rapat kembali sebelum menemui Aprindo.
Pilihan Editor: Kejagung Sebut Pemerintah Harus Bayar Utang Minyak Goreng ke Peritel, Wamendag: Masih Dikomunikasikan