Jokowi targetkan angka kemiskinan Indonesia 0,5 persen saat 100 tahun merdeka
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada bulan Juni kemarin menjelaskan tingkat kemiskinan di Indonesia yang saat itu sudah single digit yaitu 9,57 persen, tapi angka itu masih cukup tinggi. Dia memperkirakan kemiskinan pada 100 tahun Indonesia merdeka—tahun 2045—angkanya 0,5-0,8 persen.
“Tapi bukan hal yang mudah, bukan hal yang gampang," ujar Jokowi di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Juni 2023.
Sehingga, kata dia, momen pada 2030 di mana Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi harus dimanfaatkan. Pada tahun itu, ada 68,3 persen total penduduk Indonesia berusia produktif yang hanya terjadi sekali dalam peradaban sebuah negara.
Jokowi mengatakan hal itu bisa menjadi peluang, tapi juga bisa jadi sebuah bencana, jika Indonesia tidak bisa mengelolanya. Dia juga mencontohkan ada sebuah negara di Benua Afrika yang pada 2015 mendapatkan bonus demografi, tapi dalam 7 tahun justru terjadi pengangguran yang melonjak hingga 33,6 persen.
"Saya tidak usah sebut negaranya mana, tapi saya yakin bapak ibu tahu. Dan kita tidak ingin terjadi seperti itu. Tapi kita harus bekerja keras memanfaatkan peluang ini," tutur mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Dia pun mengatakan untuk menghadapi puncak bonus demograsi, Indonesia harus punya perencanaan taktis, visi yang taktis, dan strategi yang taktis agar bisa berkompetisi dengan negara lain. "Itu yang dulu-dulu kita enggak memiliki. Tapi sekarang saya tanya ke Menteri Bappenas. Sudah lebih taktis dan detail," kata dia.
Selain itu angka kemiskinan yang ditargetkan 0,5-0,8 persen itu, Jokowi juga memperkirakan GNI per kapita pada 2023 sudah mencapai angka US$ 5.030 per kapita. “Perkiraan kita di tahun 2045 angkanya kira-kira sampai US$ 30.300 per kapita. Itu lompatannya,” ucap Jokowi.
Jokowi juga mencontohkan Korea Selatan yangh dalam 8 tahun mampu keluar dari middle income trap county (jebakan negara berpendapatan menengah). Di mana angkanya pada 1987 pendapatan per kapitanya di angka US$ 3.500. Kemudian pada 1995 atau 8 tahun setelah itu melompat menjadi US$ 11.800.
“Lompatan seperti ini yang perlu kita tiru. Perlu kita contoh karena kualitas sumber daya manusianya yang fokus pada teknologi dan produktifitas,” kata dia.
RR ARIYANI | MOH. KHORY ALFARIZI
Pilihan Editor: BPS Sebut Impor dan Ekspor Indonesia Juni 2023 Sama-sama Turun, Berapa Nilainya?