Moeldoko mengatakan pihaknya segera membahas persoalan SLO ini dengan beberapa kementerian terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ESDM. Menurutnya persoalan itu harus dicarikan solusi. Sebab, dia menilai konsep PLTSa Putri Cempo itu sudah ramah lingkungan, karena tidak mengeluarkan emisi.
"Harus segera ada solusi. Kasihan ini, beliau (investor) sudah menghasilkan listrik, tapi belum bisa jualan. Harus dijamin dong investasi. Kalau investor nggak ada jaminan, kasihan nanti. Ini dalam rangka secepatnya bisa rilis resmi," ucap dia.
PLTSa Putri Cempo seharusnya sudah beroperasi secara penuh pada akhir 2022 lalu. Namun rencana itu berubah karena sejumlah aturan dalam proses jual beli listrik, salah satunya dalam penerbitan SLO sebelum jual beli dilakukan. Proses commissioning untuk menerbitkan SLO pun telah dilakukan sejak akhir 2022 dan diharapkan rampung pada tahun 2023 ini.
Berikutnya, kendala kedua terkait ketersediaan lahan. PLTSa Putri Cempo membutuhkan lahan seluas 2 hektare untuk mendukung operasional. Namun untuk saat ini kebutuhan itu baru terpenuhi 1,5 hektare.
Kebutuhan lahan yang lebih luas itu lantaran dalam operasional PLTSa Putri Cempo diperlukan akses keluar-masuk kendaraan agar lebih aman, sehingga perlu ada pelebaran jalan.
"Sebenarnya hanya perlu luas, lahannya sudah ada. Tinggal proses bagaimana memindahkan sampah-sampah itu nanti bisa digunakan untuk proses seleksi," kata Moeldoko.Soal ini, selain KLHK dan ESDM, pihaknya akan berkomunikasi dengan dengan Kementerian PUPR.
Pilihan Editor: Kementerian ESDM: Bukan Cuma Emas, Papua Punya Potensi Energi Baru Terbarukan hingga 381 Giga Watt