TEMPO.CO, Jakarta - AC Ventures (perusahaan modal ventura tahap awal terkemuka di Indonesia), bekerja sama dengan Boston Consulting Group (BCG), merilis laporan komprehensif mengenai dekarbonisasi dan dampak yang luas terhadap potensi pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia.
Dalam laporan berjudul Catalyzing Indonesia’s Green Growth Potential tersebut dijelaskan peran penting Indonesia di panggung global dalam melakukan transformasi ekonomi.
Green growth atau pertumbuhan ekonomi hijau sendiri mengacu pada jalur pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang berkelanjutan secara lingkungan.
Sebagai negara penghasil gas rumah kaca terbesar keempat di dunia, Indonesia disebut menghadapi tantangan lingkungan yang signifikan dan sangat rentan terhadap risiko perubahan iklim.
Meski demikian, menurut Principal – Head of ESG AC Ventures, Lauren Blasco, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk beralih ke ekonomi hijau.
“Perubahan ini merupakan peluang bagi startup, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan investor untuk memainkan peran utama dalam mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan dan mengatasi perubahan iklim,” kata Blasco dalam konferensi pers yang digelar secara daring pada Kamis, 13 Juli 2023.
Lebih lanjut, dalam laporan tersebut juga dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia melibatkan tiga area fokus utama. Ketiganya yakni, strategi dan layanan profesional (potensi pasar mencapai 46 miliar dolar AS pada 2030), solusi untuk mengoptimalkan intensitas gas rumah kaca (potensi pasar senilai 350 miliar dolar AS pada 2030), dan kompensasi emisi (potensi pasar mencapai 3,5 miliar dolar AS pada 2030).
Untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut secara maksimal, laporan tersebut menjelaskan bagaimana Indonesia dapat meningkatkan pendanaan untuk proyek-proyek berkelanjutan, mengembangkan kerangka regulasi yang mendukung, dan mengembangkan tenaga kerja yang terampil di bidang lingkungan.
Langkah-langkah ini akan sangat penting bagi Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi pada 2030, sambil tetap mendukung pertumbuhan ekonomi negara.
"Laporan kami menekankan potensi besar dekarbonisasi yang dimiliki oleh Indonesia,” ujar Blasco.
Blasco mencontohkan, permintaan internasional untuk kredit karbon sukarela diperkirakan akan meningkat secara drastis dengan peningkatan sekitar 27 persen setiap tahun hingga tahun 2030.
“Saat ini, sekitar 30 persen dari cadangan karbon dunia terdapat di lahan gambut Indonesia saja,” lanjutnya.
Menurutnya, ketika sistem perdagangan yang melibatkan pelestarian lahan gambut mulai diperkenalkan, Indonesia berpotensi menjadi pelaku utama di pasar yang sedang berkembang ini.
Blasco mengungkapkan, pihaknya memproyeksikan pasar kredit karbon akan tumbuh menjadi 140 juta ton pada 2030, meningkat pesat dari 40 juta ton yang diterbitkan dalam dekade terakhir.
“Dengan harga proyeksi sekitar 25 dolar AS per ton, pasar ini sendiri berpotensi menghasilkan pendapatan sekitar 3,5 miliar dolar AS setiap tahun, menunjukkan peluang yang signifikan,” jelasnya.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dan diproyeksi menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050, Indonesia dinilai memiliki kepentingan yang besar dalam melakukan transformasi menjadi pertumbuhan ekonomi hijau.
Transformasi ini tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, melainkan juga merupakan peluang bisnis yang sangat signifikan.
Lebih lanjut, laporan tersebut memperkirakan nilai peluang pertumbuhan hijau di Indonesia sebesar 400 miliar dolar AS yang mencakup pendapatan industri dan potensi kompensasi karbon.
Potensi bagi usaha skala kecil seperti startup dan UMKM, serta investor dan pemberi pembiayaan untuk mendorong transisi Indonesia juga ikut disoroti dalam laporan tersebut.
Sementara itu, Managing Director dan Partner BCG Singapura, Marc Schmidt, mengatakan bahwa membangun ekonomi rendah karbon dan dekarbonisasi yang terkait akan memberikan peluang bagi para pemangku kepentingan di semua sektor, termasuk sektor UMKM yang besar dan penting di Indonesia.
“Partisipasi luas dari para inovator akan menjadi sangat penting untuk melaksanakan dan menjaga perubahan yang diperlukan dalam ekonomi Indonesia,” ujarnya.