TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyebut penundaan atau relaksasi larangan ekspor konsentrat, bahan baku timah, perak dan emas terhadap perusahaan tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) menimbulkan diskriminasi.
Fahmy, sapaan dia, menyampaikan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lagi-lagi memberikan izin relaksasi ekspor konsenterat kepada Freeport Indonesia. Padahal, kata dia, izin ekspor konsenterat itu mestinya berakhir pada Juni 2023, namun diperpanjang sampai Mei 2024.
"Pemberian relaksasi ekspor konsenterat itu menimbulkan diskriminasi terhadap pengusaha nikel dan bauksit yang selama ini sudah diwajibkan hilirisasi di smelter dalam negeri. Dampaknya, mereka akan menuntut relaksasi ekspor bahan mentah serupa," ujar Fahmy melalui keterangan tertulis, Senin, 26 Juni 2023.
Menurut Fahmy, kalau pemerintah memenuhi tuntutan tersebut, maka nasib program hilirisasi akan porak-poranda. Program hilirisasi, kata dia, semakin porak-poranda ketika ditemukan ekspor illegal bijih nikel sebanyak 5,3 juta ton ke Cina sejak 2020.
"Selain itu, pemberian relaksasi ekspor konsenterat dan ekspor illegal bijih nikel akan memicu ketidakpastian yang menyebabkan investor smelter hengkang dari negeri ini," tutur Fahmy.
Baca juga:
Padahal, menurut Fahmy Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berani memberlakukan kebijakan larangan ekspor biji nikel sejak Januari 2020. Jokowi, kata dia, bahkan bergeming saat kebijakan tersebut diadukan ke World Trade Organization (WTO).
"Nyali Jokowi dipatahkan oleh Freeport McMoran"