TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Yustinus Prastowo membantah tuduhan di Twitter yang menyebut penghapusan mandatory spending dilakukan Indonesia lantaran tak memiliki uang. Dia pun membeberkan data berdasarkan anggaran penerimaan dan belanja negara maupun daerah (APBN/APBD).
"Negara bokek nggak punya uang? Keliru! Saya jawab tuduhan ini dengan data dan fakta," kata dia dalam akun Twitter pribadinya pada Jumat, 23 Juni 2023.
Ia meberikan penjelasan berdasarkan konsep mandatory spending di kebijakan penganggaran yang Indonesia anut. Kemudian dia menjelaskan kaitannya dengan anggaran kesehatan dan isu tunjangan kinerja.
Yustinus mengatakan mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending adalah memberi kepastian alokasi anggaran untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.
Dalam kebijakan fiskal Indonesia, kata dia, besaran mandatory spending diatur sebesar 20 persen dari APBN/APBD untuk pendidikan. Hal itu merujuk pada pasal 31 ayat 4 UUD 1945). Lalu sebesar 5 persen dari APBN untuk kesehatan sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Meskipun Pemerintah melakukan realokasi anggaran serta melakukan perubahan rincian APBN melalui Perpres 98 Tahun 2022, ia menegaskan pemerintah tetap berkomitmen untuk menjaga alokasi mandatory spending sesuai amanat UU.
Berdasarkan hal tersebut, ia berujar pada APBN 2022 anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp 621,28 triliun. Sementara, anggaran kesehatan dialokasikan sebesar Rp 255,39 triliun.
Belanja pegawai meningkat rata-rata 3,8 persen per tahun