TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menanggapi pernyataan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tentang ekspor pasir laut. Novel sebelumnya mengatakan menemukan proposal ekspor pasir laut pada dua tahun lalu, saat menangani kasus korupsi Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
"Kami tak tahu menahu soal proposal di era sebelum kepemimpinan Menteri Sakti Wahyu Trenggono," ujar Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Komunikasi Publik Wahyu Muryadi saat dihubungi Tempo pada Ahad malam, 18 Juni 2023.
Dia mengatakan pemerintah baru membahas soal ekspor pasir laut sekitar 8 bulan lalu. Dia juga mengatakan kebijakan itu tidak berkaitan dengan permintaan pasir laut dari negara mana pun, termasuk Singapura.
Presiden Joko Widodo membuka kembali ekspor pasir laut yang sempat ditutup di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Kebijakan pembukaan ekspor pasir laut itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Sejumlah pihak menyoal ekspor pasir laut karena dianggap akan merusak lingkungan.
Namun, Wahyu mengatakan komoditas yang diatur dalam beleid itu bukan pasir laut melainkan sedimentasi laut. Menurut dia, kebijakan itu tak berhubungan dengan rezim penambangan pasir laut. Apalagi, kata dia, ekspor pasir laut pada rezim tambang memiliki sejarah kelam masa lalu yang sampai kini masih dilarang.
"Jadi yang kami akan lakukan adalah pengelolaan sedimentasi di laut. Pengelolaan sedimentasi di laut selama ini belum pernah diatur secara khusus," kata dia.
Wahyu berujar saat ini ekspor pasir laut masih dilarang. Sementara yang dilakukan pihaknya, kata dia, adalah tata kelola atas pasir hasil sedimentasi di laut. Komoditas itu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, misalnya proyek reklamasi.
Menurut dia, hasil sedimentasi di laut berupa material alami yang terbentuk akibat proses pelapukan dan erosi. Material tersebut terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan. Sehingga, ia menilai hasil sedimentasi itu harus diambil dan dibersihkan untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem laut dan pelayaran.
Ahli Ekologi Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan, Romi Hermawan mengatakan dalih KKP tersebut janggal dan terkesan menutupi tujuan sebenarnya. Menurut dia, sedimentasi laut lebih banyak berupa endapan lumpur dan tanah yang tidak cocok untuk proyek reklamasi. Sedangkan yang dibutuhkan para pelaku reklamasi adalah pasir laut yang memiliki ukuran lebih besar karena berasal dari pecahan karang dan koral.
"Kata-kata pasir laut itu disembunyikan dalam istilah hasil sedimentasi. Sebab pasir laut hampir tidak ada lumpurnya, dan itu yang diminta oleh konsumen ekspor," ujarnya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada Selasa, 13 Juni 2023.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan. DFW menilai klaim pemerintah bahwa produk ekspor hanya hasil sedimentasi tidak sesuai dengan hasil riset ilmiah.
Abdi merujuk pada riset ilmiah Physical Geography University of Sakatchewan pada 2019. Dia menuturkan bahan baku yang dibutuhkan untuk proyek reklamasi bukan sedimen seperti yang disebut KKP.
Pilihan Editor: Luhut Minta Pekerja Asing Menjadi Pengawas Proyek IKN, Anggota Dewan: Kita Bisa Kerjakan Sendiri
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini