TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengajak warga Singapura untuk tinggal di Ibu Kota Nusantara (IKN) menuai kritik dari pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah.
Menurut Trubus, ajakan Jokowi dalam acara Ecosperity Week 2023 di Singapura, Rabu, 6 Juni 2023, itu mengindikasikan bahwa Jokowi galau akan kelanjutan proyek IKN. "Apalagi jabatan beliau sudah sudah mau habis," kata Trubus, seperti dikutip Tempo, Ahad, 11 Juni 2023.
Trubus menduga, Jokowi khawatir karena sampai saat ini belum ada investor yang merealisasikan modal. Pembangunan IKN pun masih menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN. "Investor masih wait and see," tuturnya.
Di tengah ketidakpastian realisasi modal dari investor ini, kata Trubus, Presiden Jokowi berharap pada Singapura. Terlebih, selama ini Singapura menjadi negara yang paling banyak memberikan pinjaman atau utang kepada Indonesia. Karena itulah, lobi-lobi melalui ajakan tinggal di IKN disampaikan Jokowi.
Setidaknya ada 3 poin kritikan yang disampaikan Trubus terkait ajakan Jokowi kepada warga Singapura untuk tinggal di IKN, mulai dari investasi, kemungkinan konflik, dan soal Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Berikut kritik pengamat kebijakan publik, Trubus Rhadiansyah, yang dirangkum Tempo.
Jaminan investasi
Trubus mengatakan langkah Kepala Negara melobi warga Singapura dengan ajakan tinggal di IKN itu tidaklah tepat. Sebab, ketika warga Singapura pindah ke IKN pun belum tentu menjamin datangnya investor.
"Investor datang kan sangat bergantung pada banyak faktor. Salah satunya faktor sosial politik dan kepastian hukum," ucap Trubus.
Kemudian yang terpenting, lanjut Trubus, investor menginginkan keuntungan dari modal yang mereka tanam. Sementara, jaminan ini yang masih abu-abu dari proyek IKN. "Kan nggak mungkin seperti membuang garam di laut," ujar dia.
Bisa timbulkan konflik
Menurut Trubus, ada potensi konflik jika warga Singapura mengiyakan ajakan Jokowi untuk hijrah ke IKN. Sebab, kemungkinan mereka akan membuat klaster tersendiri.
"Saya khawatir masyarakat lokal yang tidak mampu dan selama ini seperti termarginalkan, melakukan perlawanan," kata Trubus.
Bagi masyarakat lokal, tanah adalah milik mereka warisan dari leluhur. Potensi konflik akan muncul saat orang Singapura yang merupakan warga asing tiba-tiba berbondong-bondong datang dan menduduki wilayah tersebut. Belum lagi jika kelompok mereka membangun kawasan elit.
"Artinya, perbedaan dengan warga lokal bisa menjadi sangat mencolok," ujar Trubus.
Selanjutnya: Obral insentif HGU dan HGB