Wawan mencontohkan soal ABS ini di sektor mineral dan batu bara atau minerba, di mana ada suatu perusahaan yang tidak membayar royalti. “Tidak bayarnya ini bukan di awal pengapalan, saat pengapalan itu pengusaha atau eksportir sudah membayar duluan untuk royalti yang asesmen,” tutur dia.
Dengan berjalannya waktu, maka ada langkah verifikasi yang dilakukan oleh Kementerian ESDM, misalnya nama perusahaannya PT Batu Bara Timur Jaya sudah membayar royalti untuk 6 bulan ini senilai Rp 531 miliar. Namun, pada Agustus di-review, di verifikasi oleh ESDM kurang bayar senilai Rp 40 miliar. Sedangkan ketika ditagih tidak mau membayar.
Namun, karena aturan untuk pengapalan dan kemudahan berusaha tentunya maka setiap ekspor di bulan berikutnya sepanjang membayar asesmen yang awal tadi, itu masih diperbolehkan. Sebagai penguatan, maka untuk memaksa PT Batu Bara Timur Jaya, jika tidak membayar Rp 40 miliar, maka tidak akan bisa membayar royalti next ekspor.
“Kemudian layanannya ditutup, dia tidak bisa bayar karena tidak punya billing, simpulnya kita tutup. Kita paksa mereka bayar dulu. Nah ini namanya ABS,” kata Wawan.
Jika perusahaan sudah membayar, simpulnya akan dibuka dan bisa membayar royalti, maka bisa pula melakukan pengapalan. Sehingga, ini akan membuat optimalisasi penerimaan negara.
“Itu kenapa kita kenalkan ABS, karena kementerian/ lembaga itu tidak melakukan apa-apa sebetulnya. Tapi tetap melakukan pelaporan ke kita, PT ini perlu dilakukan ABS simpulnya kita tutup,” ucap Wawan.
Pilihan editor: 33 LHA Berkaitan Transaksi Mencurigakan Kemenkeu, Mahfud Md: Selama Ini Belum Berkembang
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini