Wahyu menjelaskan bahwa Indef telah menganalisis 18.921 data pembicaraan di Twitter dari 15.139 akun pada 8-12 Mei 2023. Alasan mengambil data dari Twitter, kata dia, karena merupakan platform yang representatif untuk menangkap aspirasi, kritik, ataupun masukan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan isu sosial, politik, atau kebijakan dari pemerintah.
“Setelah kami ambil datanya, kami collect datanya dan coba bersihkan dari akun media atau dari buzzer, sehingga harapannya perbincangan didapatkan dari user asli saja. Setelah itu kami lakukan analisis untuk exposure, sentimen, dan juga topik perbincangan,” tutur Wahyu.
Hasilnya adalah dia menemukan bahwa 80,77 persen masyarakat di internet itu tak sepakat dengan subsidi kendaraan listrik atau mereka mengkritik kebijakan tersebut. Alasannya, kata Wahyu, salah satunya karena masyatakat menilai bahwa pembeli mobil listrik bukan orang yang butuh subsidi.
Asumsi ini, menurut dia, kemungkinan didasarkan pada asumsi bahwa secara harga, mobil listrik relatif mahal. “Maka hampir bisa dipastikan bahwa kalangan menengah ke bawah tidak akan membeli mobil ini, tidak akan mampu membeli mobil listrik,” ucap dia. Bahkan ada pula yang mempertanyakan soal siapa penerima subsidi kendaraan listrik itu.
“Yang beli paket dari kalangan menengah ke atas, kenapa menengah ke atas yang diberi subsidi, bukankah itu kurang pas dan sebagainya,” ucap Wahyu.
Pemerintah telah memberlakukan kebijakan subsidi kendaraan listrik mulai 1 April 2023 lalu. Untuk pembelian sepeda motor listrik baru mendapatkan subsidi senilai Rp 7 juta, sedangkan untuk pembelian mobil listrik baru subsidinya Rp 80 juta.
Pilihan Editor: Minta Dukungan Presiden Yoon Suk Yeol, Jokowi Harap Perusahaan Korsel Realisasikan Investasi di RI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini