Bhima menilai, kapal-kapal berbendera asing ingin menerima dolar AS, bukan dibayar dengan quotation rupiah. Sementara itu, 90 persen kapal untuk ekspor impor menggunakan bendera asing.
“Masalah lain muncul ketika kerja sama internasional, misalnya dalam hibah, pinjaman tetap dominan dalam bentuk dolar AS. Jadi pengembalian cicilan pokok dan bayar bunganya juga tetap menyedot dolar AS,” papar Bhima.
Lebih lanjut, dia mencontohkan sejauh ini porsi transaksi menggunakan LCS atau local currency settlement dengan Thailand hanya 4 persen dari total ekspor. Sedangkan dengan negara lain juga relatif kecil.
“Apabila porsinya bisa naik hingga 30 persen dari total ekspor, maka bisa menjadi kebijakan stabilisasi rupiah yang efektif,” ungkap Bhima.
Terakhir, dia menilai Indonesia harus mulai terlibat dalam pembahasan BRIC (forum negara Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa) meski Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok tersebut.
Pembahasan yang dimaksud Bhima adalah terkait kerja sama mata uang bersama. “Setiap upaya dedolarisasi harus didukung,” tuturnya.
Indonesia telah menjalin kerja sama LCT dengan Thailand, Malaysia, Jepang, dan China. Meski di Cina tren transaksi dengan mata uang lokal agak melambat karena kenaikan kasus Covid-19, tren di tiga negara lainnya menguat, khususnya di Jepang.
Bank Indonesia atau BI membukukan realisasi LCT mencapai US$ 957 juta atau sekitar Rp 14,2 triliun per Februari 2023.
Jadi, rata-ratanya hampir US$ 480 juta (sekitar Rp 7,13 triliun) dan ini lebih tinggi dari rata-rata pada 2022 yang sebesar US$ 350 juta (sekitar Rp 5,2 triliun)," kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, Selasa 18 April 2023.
Lebih jauh, Destry mengungkapkan BI akan memperluas jangkauan kerja sama LCT. Rencananya, BI akan melakukan kerja sama LCT dengan Korea pada Mei 2023.
AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA
Pilihan Editor: Hari ini Puncak Mudik Lebaran 2023, AP II: Ada 11.000 Pergerakan Pesawat dan 1,5 Juta Penumpang di 20 Bandara
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini