TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa penganiayaan dan pamer harta yang dilakukan oleh Mario Dendy Satriyo, anak pejabat Ditjen Pajak bernama Rafael Alun Trisambodo, memunculkan tuntutan pemberlakukan wealth tax atau pajak kekayaan bersih. Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan hal itu merupakan usulan menarik.
“Layak dipertimbangankan,” ujar dia kepada Tempo pada Senin, 27 Februari 2023.
Menurut Fajry, memang pada 2021 lalu, International Monetary Fund (IMF) memberikan rekomendasi implementasi wealth tax untuk mengatasi permasalahan defisit anggaran akibat pandemi Covid-19. Indonesia sendiri memiliki target defisit anggaran kembali di bawah 3 persen pada 2023 ini.
Namun, implementasi wealth tax itu hanya dalam jangka waktu sementara, dengan konteks perbaikan kondisi keuangan pasca pandemi. Ditambah lagi, Indonesia juga memiliki pekerjaan rumah untuk mengurangi ketimpangan. “Saya kira wealth tax dapat menjadi salah satu solusi,” ucap Fajry.
Secara politis, dia menambahkan, dengan adanya wealth tax pasti akan dapat meraih simpati publik yang besar. “Apalagi mau pemilu (pemilihan umum), ini sebuah tawaran yang menarik. Cuma nanti teknisnya perlu diperdalam,” tutur Fajry.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto menjelaskan peristiwa penganiayaan dan juga pamer harta yang dilakukan anak pejabat pajak itu mendorong mendorong munculnya tuntutan moral.
"Tuntutan moral penting, tapi kami harus tuntut juga tindakan rill dalam bentuk perubahan sistem. Perubahan itu adalah tuntut segera berlakukan pajak harta (wealth tax),” kata dia.
Menurut dia, pajak kekayaan bersih adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan aset pribadi. Aset pribadi yang dimaksud mencakup uang tunai, deposito bank, real estat, aset dalam program asuransi dan pensiun, kepemilikan bisnis yang tidak berbadan hukum, sekuritas, dan lainnya.
Menurut Suroto, pajak kekayaan ini merupakan pajak atas komponen harta pribadi dikurangi dengan utang. Jadi pajak kekayaan bisa juga disebut sebagai pajak harta atau kekayaan bersih.
Di Indonesia, Suroto menilai, angka gini ratio yang menggambarkan ketimpangan yang sangat besar, mulai dari pendapatan hingga distribusi 0,77. Sementara, pada orang dewasa Indonesia, mayoritas atau 83 persen kekayaanya hanya di bawah Rp 150 juta, padahal rata-rata dunia 58 persen.
"Mereka yang kekayaanya di atas Rp 1,5 milyar itu hanya 1,1 persen. Padahal rata-rata dunia 10,6 persen menurut Suissie Credit, 2022," kata dia. "Dari 4 keluarga kekayaanya sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin menurut Oxfarm, 2021."
Kesenjangan ekonomi di Indonesia, kata Suroto, sudah dalam keadaan yang ekstrem dan ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa dan negara. Dengan begitu, ia menilai tuntutan agar diberlalukan pajak harta sangat masuk akal, agar negara ini tidak dikuasai oleh segelintir oligarki dan segelintir elit kaya tidak lagi semena-mena.
"Sumber kekuasaan kuno paling penting itu adalah dari penguasaan properti, kekayaan atau harta. Solusinya, akhiri oligarki dan kesewenang-wenangan elit melalui pajak harta sekarang juga," tutur Suroto.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini