TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkopukm) Teten Masduki mengatakan realisasi putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kasus koperasi bermasalah terbilang rendah.
"Di awal pandemi itu ada sekitar delapan koperasi yang mengalami gagal bayar. Lalu, antara pengurus dan anggota itu berdamai lewat pengadilan niaga, lewat putusan PKPU," kata Teten dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Senayan, Jakarta, Selasa, 14 Februari 2023.
Dia melanjutkan, Kementerian Koperasi dan UKM lalu membentuk Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah pada Januari 2021, dengan melibatkan Polri, Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan unsur profesi serta praktisi hukum kepailitan.
"Jadi karena koperasi berbeda dengan bank, tidak ada mekanisme bailout, tidak ada perlindungan penyimpanan terhadap penyimpan di koperasi. Jadi memang satu-satunya adalah bagaimana mengefektifkan putusan di PKPU," ujar Teten.
Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah, kata dia, fungsinya untuk mengawal putusan PKPU atau homologasi terhadap delapan koperasi bermasalah dan melakukan pendampingan pada pelaksanaan rapat anggota tahunan (RAT) tahun 2021.
Selain itu, fungsi lainnya adalah mencegah kepailitan terhadap koperasi, memantau proses penindakan hukum pidana atas dasar laporan anggota koperasi kepada kepolisian, dan koordinasi dengan kementerian dan lembaga.
Teten melanjutkan, tahapan pembayaran homologasi itu berdasarkan asset based resolution, yaitu bagaimana menggunakan hasil kerja sama aset dan penjualan aset sebagai sumber pengembalian anggota. Menurutnya, hanya itu yang dimiliki sekarang.
"Dalam praktenya, sekarang ini putusan PKPU itu rendah realisasinya. Saya sebut saja misalnya KSPSB (Koperasi Simpan Pinjam Sehat Sejahtera Bersama) yang anggotanya 185 ribu orang, itu baru sekitar 3 persen. Indosurya yang ramai kemarin dibebaskan oleh Pengadilan Jakarta Barat itu juga baru 15,5 persen, nggak jalan," tutur Teten.
Menurut Teten, ini disebabkan aset tersebut bukan dalam kepemilikan koperasi. Kedua, ada laporan pidana yang sedang berjalan sehingga kepolisian menyita aset dan membekukannya sehingga tidak bisa dilakukan penjualan.
Penyebab lainnya adalah proses suap aset dengan simpanan yang dilakukan anggota koperasi di luar skema homologasi dan praktik pelunasan dengan cara-cara lain.
"Nah, di Undang-Undang PKPU Nomor 37 Tahun 2024 tidak mengatur pengenaan sanksi dalam hal kewajiban pembayaran pembiayaan tidak dilakukan sesuai dengan perjanjian perdamaian. Ini lemah sekali," tutur Teten.
Bahkan, kata dia, pihaknya menyampaikan PKPU dan kepailitan ke Mahkamah Agung karena bisa dipakai merampok dana koperasi. Akhirnya keluar tidak diperbolehkan ada PKPU dan kepailitan yang diajukan oleh anggota, harus oleh Kementerian Koperasi dan UKM.
"Kalau kemarin kan dua orang saja mem-PKPU-kan atau mempailitkan, dan disetujui itu mengorbankan ribuan anggota," ungkapnya.
Pilihan Editor: DPR Umumkan Filianingsih Hendarta Menjadi Deputi Gubernur Bank Indonesia yang Baru
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini