TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memandang kehadiran Perpu Cipta Kerja justru menciptakan ketidakpastian kebijakan.
Menurut dia, masalah utama dalam daya saing salah satunya adalah tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi, sehingga investor bisa ragu kalau aturan berubah-ubah.
"Padahal, investor perlu kepastian regulasi jangka panjang. Idealnya pada saat pembuatan produk regulasi apalagi Undang-Undang harus disiapkan secara matang. Kalau terburu-buru ya jadi masalah," kata Bhima melalui keterangan tertulis pada Tempo, Selasa, 3 Januari 2023.
Dia mengungkap tak ada jaminan investasi akan meningkat usai ditekennya Perpu Cipta Kerja.
"Tidak ada jaminan pasca Perpu (Cipta Kerja disahkan), investasi bisa meningkat karena sejauh ini banyak aturan turunan Cipta Kerja sudah berjalan, tapi jumlah investasi yang mangkrak masih tinggi," lanjut dia.
Baca Juga:
Bhima juga menyoroti keraguan investor menambah investasi jelang tahun politik. Ia mengatakan, hadirnya Perpu Cipta Kerja justru mengonfirmasi persepsi bahwa jelang Pemilu ketidakpastian kebijakan cukup tinggi.
"Itu bagi investor adalah regulatory risk yang besar," ujar Bhima.
Selain itu, ia memandang ada pasal bermasalah dalam Perpu Cipta Kerja. Menurutnya, Pasal 128 A adalah yang paling berdampak bagi lingkungan maupun investor.
"Pasal yang paling berdampak ada di Pasal 128 A dimana pemerintah memberikan royalti 0 persen untuk pemanfaatan batubara. Ini akan berdampak negatif pada sektor energi terbarukan karena penggunaan batubara tetap masif sehingga porsi EBT (Energi Baru Terbarukan) terancam menyusut," kata Bhima.
"Pemerintah juga bertolak belakang dengan percepatan transisi energi pada forum G20 di Bali, sehingga menimbulkan kebingungan dari calon investor yang ingin masuk," tutur dia.