Sementara itu pada poin 2,24, Crossrail juga menyinggung soal kekeliruan pemahaman istilah operational readiness. PT KAI sebagai calon pengelola proyek sepur berkecepatan rata-rata 40 kilometer per jam itu dianggap hanya menilai kesiapan operasi berdasarkan penyelesaian system integration testing. Padahal, tahap itu hanya satu dari banyak elemen operation rediness lainnya.
Sedangkan, Pejabat Pembuat Komitmen Urban Transport LRT Jabodebek dari Kementerian Perhubungan, Ferdian Suryo Adhi Pramono, menyatakan pihaknya sudah menindaklanjuti beberapa temuan dari Crossrail. "Pertama, kami membentuk tim test and commissioning serta tim menajerial untuk pengoperasian sementara,” ujar dia kepada Tempo pada Ahad, 18 September 2022.
Tim tersebut terdiri atas seluruh stakeholder mulai Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, PT Adhi Karya, PT Industri Kereta Api (INKA), PT LEN serta para konsultan. Tujuannya untuk meningkatkan keselamatan dengan mengontrol pergerakan kereta selama proses pengetesan hingga nanti masa uji coba tanpa penumpang.
“Tim tersebut menjadi jawaban dari perbaikan tata kelola,” tutur Ferdian.
Kedua, Satuan Kerja LRT membentuk jadwal pelaksanaan kegiatan yang terintegrasi dan bisa dipantau oleh seluruh stakeholder. Tujuannya jika ada kendala pada satu kegiatan, anggota tim bisa secara bersama-sama mengantisipasi agar tidak berpengaruh terhadap molornya jadwal operasi kereta.
Ketiga, PT KAI mulai mengejar pelatihan serta proses sertifikasi sumber daya manusia, penyempurnaan standar operasional prosedur (SOP), serta training bekerja sama dengan Prasarana Berhard Malaysia. “Untuk memastikan bahwa SDM operator yang akan menjalankan LRT Jabodebek betul-betul paham akan sistem yang diterapkan,” ucap Ferdian.
Baca Juga: LRT Jabodebek Beroperasi Juli 2023, Kemenhub: Harga Tiket Masih Dibahas
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.