TEMPO.CO, Jakarta - Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra mengatakan proyek food estate bukan merupakan solusi atas krisis pangan, tapi realitasnya hanya memperburuk krisis iklim. Salah satu yang ia soroti adalah proyek food estate yang digarap Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
“Perkebunan singkong di Gunung Mas ini hanya salah satu dari sejumlah wilayah yang dikonversi menjadi area pertanian skala besar oleh pemerintah melalui program food estate," kata Syahrul melalui keterangan tertulis pada Kamis, 10 November 2022.
Ia menjelaskan sistem monokultur itu tak hanya gagal menghasilkan singkong yang dijanjikan, tetapi juga meminggirkan kearifan dan pengetahuan masyarakat lokal. Padahal ada cara yang lebih baik dengan pertanian ekologis dan agroforestri tradisional, sehingga Indonesia memiliki solusi untuk krisis pangan sekaligus krisis iklim.
Baca: Tim Pesepeda Greenpeace Dihadang di Probolinggo saat Kampanye Menjelang KTT G20
Puluhan aktivis Greenpeace, LBH Palangkaraya, Save Our Borneo, dan WALHI Kalimantan Tengah pun membentangkan spanduk raksasa bertuliskan “Food Estate Feeding Climate Crisis” di area tersebut. Aksi itu digelar bertepatan dengan pertemuan COP 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir.
Dalam Laporan terbaru Greenpeace berjudul 'Food Estate: Menanam Kehancuran Menuai Krisis Iklim' tercatat bagaimana salah satu Proyek Strategis Nasional pemerintah itu telah mengeksploitasi hutan dan lahan gambut yang sangat luas. Sehingga, proyek itu mengancam wilayah adat dan keanekaragaman hayati penting di Indonesia.
Di seluruh wilayah yang direncanakan untuk food estate, tuturnya, diperkirakan sekitar 3 juta hektare hutan berpotensi hilang jika proyek itu dilanjutkan. Selain itu, ia menilai proyek food estate ini telah menjadi ladang bagi oligarki untuk melegitimasi kepentingan elite penguasa dalam mempertahankan kontrol negara secara tidak resmi.
Selanjutnya: Food estate juga mengabaikan hak atas lingkungan hidup yang..