TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi demo di kantor Kementerian Ketenagakerjaan pada Jumat, 4 November 2022. Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan buruh menampik terjadi PHK massal di sektor industri teksil dan garmen dalam aksi massa tersebut.
“Berdasarkan fakta-fakta yang dimiliki Partai Buruh dan KSPI, kabar mengenai 45 ribu karyawan garmen dan tekstil yang di PHK tidak benar. Termasuk, tidak benar ada PHK di sektor automotif,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Jumat.
Menurut Said, kabar tersebut berembus untuk membuat gambaran resesi tampak nyata. Dengan demikian, tidak ada kenaikan upah.
Baca: Jumat Besok, Puluhan Ribu Buruh Akan Demo di Depan Kemnaker Tuntut Upah Naik dan Tolak PHK
Buruh pun khawatir resesi akan menjadi dalih bagi perusahaan untuk memangkas pekerja. "Kami meminta kepada menteri jangan menakut-nakuti rakyat dan menjadi provokator 2023 ekonomi gelap dan akan ada resesi global yang akan melanda Indonesia," katanya.
Dampak dari narasi resesi itu, ujar Said, akan sangat merugikan buruh. Dia menilai, pengusaha bisa memanfaatkan situasi ini untuk meminta upah tak berubah selain melaksanakan PHK. PHK pun berjalan dengan pesangon murah. Selanjutnya, buruh cemas perusahaan akan mengganti tenaga kerja dengan outsourcing.
Said menjelaskan, secara teori, resesi akan terjadi tatkala ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut terkontraksi. Sementara itu Indonesia, kata dia, pertumbuhan ekonominya positif. Menyitir data pemerintah, ekonomi Indonesia pada kuartal II tumbuh 5,1 persen dan kuartal III tumbuh 5 persen.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia nomor tiga di dunia setelah India dan Filipina. “Indonesia adalah negara terkaya nomor tujuh di dunia. Pertumbuhan ekonominya nomor tiga terbaik sedunia,” ucap dia.
Isu PHK menjadi salah satu tuntutan yang disampaikan buruh dalam aksi demi. Selain PHK, buruh menyampaikan sejumlah tuntutan. "Pertama, menuntut kenaikan UMK (upah minimum kota) 2023 sebesar 13 persen," kata Said.
Kenaikan tersebut menyesuaikan inflasi. Inflasi Januari-Desember yang diperkirakan sebesar 6,5 persen dikhawatirkan bakal membebani buruh. Ditambah lagi, pertumbuhan ekonomi diramalkan akan bertengger di level 4,9 persen.
Dia menilai, jika kenaikan upah di bawah inflansi, daya beli buruh akan semakin jatuh. Sebab, kenaikan upah tidak bisa menutupi kenaikan harga kebutuhan.
Selanjutnya, kelompok buruh menolak Undang-Undang Copta Kerja. Said mengatakan PP 36 dalam beleid sapu jagat yang merupakan aturan turunan dari Omnibus Law sudah dinyatakan MK cacat formil. Sehingga, pemerintah harus menggunakan PP 78.
:UU Cipta Kerja merugikan kaum buruh. Mudah-mudahan presiden bisa mengeluarkan Perpu untuk membatalkan Omnibus Law," kata Said Iqbal.
Adapun tuntutan keempat, buruh mendesak agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) disahkan. “Sehingga para pekerja rumah tangga yang selama ini bekerja di sektor informal terlindungi hak-haknya.”
Selain di Kantor Menteri Ketenagakerjaan, aksi demo buruh berlangsung di beberapa kota industri, seperti Serang, Banten; Bandung, Jawa Barat; Semarang, Jawa Tengah; Batam, Kepulauan Riau, Medan, hingga Sumatera Utara.
Baca juga: Cegah PHK, Pengusaha Minta Importir Tekstil Ilegal Ditindak dan Pasar Ekspor Baru Digenjot
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.